Djati menatap lekat ke arah perempuan di sampingnya, yang dari tadi hanya diam.
Terhitung sejak keluar area pemakaman, Denara tidak mengeluarkan sepatah kata pun.
Benar, Djati akhirnya berhasil mengajak perempuan itu untuk pergi ke Jakarta. Tepatnya setelah kemarin pagi ia mencoba merayu Denara.
Di luar dugaan Djati, Denara langsung menyetujui. Itulah alasan mengapa Djati cepat-cepat bertandang ke Jakarta, padahal kondisinya sama sekali belum pulih.
Tentu demi menghindari Denara yang bisa saja suatu saat berubah pikiran. Sehingga Djati langsung membawa perempuan itu ke makan orangtuanya beserta Marwa.
"Kamu kenapa?" Tanyanya pelan sambil menggenggam tangan Denara.
Perempuan itu sontak menggeleng, "Enggak, cuma heran sama mas Djati, kemarin ganti celana aja nggak mampu, sekarang udah mahir banget nyetir mobil. Aku tahu sakitmu itu akting!"
"Jangan marah dong, ini kan saking senangnya karena kamu mau terima ajakanku."
"Alasan!" Perempuan itu masih mencibir.
"Sekarang kamu mau bawa aku kemana?"
"Kita ke rumahku dulu ya, untuk istirahat sebentar sebelum pulang ke Jogja."
"Sebenarnya aku nggak perlu istirahat mas, langsung pulang juga nggak papa."
"Aku yang perlu istirahat." Jawaban Djati langsung membuat Denara mengernyit.
"Mas Djati bisa langsung pulang setelah mengantar aku ke stasiun."
"Loh, memangnya kemarin aku belum bilang kalau ikut lagi ke Jogja."
"Mau ngapain lagi ke Jogja? Memangnya urusan kamu belum selesai?"
"Kamu yang bikin lama,"
Ah, kali ini Denara tak ingin mendebat. Jika mengeluarkan jawaban sedikit saja, dia sudah tahu kemana arah pembahasan laki-laki itu.
Djati memasuki gang yang tidak asing untuk Denara. Lima tahun lalu, ia sering datang ke sini.
Tak lama kemudian, mobil laki-laki itu masuk ke sebuah rumah yang sama sekali tidak berubah.
Penjaga rumah langsung datang menghampiri saat Djati turun.
"Mas Djati, kenapa pulang nggak kabarin, tahu gitu saya jemput."
"Enggak perlu pak, tadi sudah minta orang kantor untuk kirim mobil ke bandara. Kalau begitu saya masuk dulu ya."
"Siap mas,"
Denara belum turun, bukan sengaja. Tapi memang Djati mengunci pintu di sampingnya.
"Sebenarnya boleh ikut masuk apa enggak sih, atau cuma disuruh nungguin di sini." Gumam Denara sedikit kesal.
Ia menatap dari kaca mobil, Djati dengan cepat berjalan ke arah pintu di sampingnya.
"Silahkan," Denara sontak memutar bola matanya malas.
"Tadi enggak usah dikunciin, aku bisa turun sendiri."
"Sengaja," jawab Djati santai.
Setelah menutup pintu mobil, laki-laki itu segera membawa Denara ke rumah.
"Ayo," serunya saat menyadari Denara jalan begitu pelan.
"Apa aku harus ikut masuk,"
"Tujuan aku bawa kamu ke sini memang itu. Ayo nggak papa."
"Djati, kamu pulang?"
"Hallo nek! Maaf nggak ngabarin dulu, oh iya kenalin aku bawa teman. Ini namanya Denara, Den ini nenekku, ibunya papa."
KAMU SEDANG MEMBACA
Takeaway
ChickLitMasalah ini bermula dari rasa iri Denara pada Raisa, sang kakak yang selalu sukses dalam hal apapun. Raisa, si sulung yang pintar dalam bidang akademis, sukses di bisnisnya dan juga cantik di mata banyak pria. Perempuan duapuluh delapan tahun itu s...