Djati membuka pintu kamar pelan, lalu melirik sekilas ke arah jam tangannya. Waktu sudah menunjukkan pukul satu malam, namun laki-laki itu tak merasa ngantuk sama sekali.
Ia berjalan ke pojok kamar, menekan tombol connecting door yang menghubungkan kamarnya dengan milik Denara.
Ah, perempuan itu pasti tidak akan menyadari jika dua kamar yang Djati pesan memiliki akses connecting door.
Toh, pintunya memiliki bentuk serta motif yang sama dengan tembok kamar.
Benar dugaan Djati, Denara sudah meringkuk pulas di salah satu sisi ranjang. Sepertinya suhu rendah di kawasan Magelang membuat perempuan itu nyaman berada di balik selimut tebal.
Dengan hati-hati, Djati duduk di sisi ranjang yang kosong. Laki-laki itu tak melakukan apapun, selain menatap lekat ke arah perempuan di hadapannya.
Satu hal yang Djati sadari, Denara semakin cantik. Badannya juga lebih berisi jika dibandingkan lima tahun lalu yang tampak kurus.
Rambut Denara juga panjang, kini perempuan itu lebih sering membiarkan rambutnya tergerai tanpa ikatan.
Membuat aura feminim dan ayunya semakin terpancar.
Tapi jika boleh jujur, Djati lebih suka Denara versi lama. Terlebih saat ini keceriaan perempuan itu seolah lenyap.
Senyumnya memang tetap manis, namun tak selepas lima tahun lalu. Bahkan Denara terlihat jaga jarak pada Djati.
Padahal dulu, perempuan itu sangat merepotkan, manja, dan tidak tertata. Namun kini Denara benar-benar berubah.
Kerasnya hidup membuatnya jadi seperti sekarang. Hal yang sangat membuat Djati merasa sangat sedih.
Djati tak pernah berniat mencari kesempatan dalam kesempitan. Ciuman beberapa jam yang lalu adalah bukti ketidaksukaan Djati pada Denara yang terlalu merendahkan dirinya sendiri.
Kalau boleh memilih, laki-laki itu justru akan senang jika Denara mengumpatinya. Apalagi semua hal yang harus perempuan itu jalani, adalah akibat dari terlalu banyak membantu Djati.
Djati merasa bersalah, marah, bahkan benci pada dirinya sendiri.
"Maaf ya," ucap Djati sambil merapikan anak rambut yang menutupi sebagian wajah Denara.
Selanjutnya laki-laki itu kembali ke kamar untuk mencoba tidur.
.............
Denara mengernyit ketika Djati memilih jalur berbeda. Seingat perempuan itu, jalan ke rumah bukan lewat sini.
Ia masih diam, sambil mengamati laki-laki di sampingnya dengan teliti.
Kebingungan Denara seolah terjawab ketika Djati memasuki kawasan parkiran rumah sakit di pusat Kota Jogja.
"Mas Djati mau ngapain,"
"Seperti yang sudah kita singgung tadi pagi." Ucap laki-laki itu santai lalu melepas sabuk pengamannya.
Denara tertawa sumbang, lalu menatap tajam ke arah Djati.
"Aku kan udah bilang, aku nggak perlu dan nggak mau tes."
"Kita coba dulu," Djati masih berusaha tenang.
"Mas Djati nggak ngerasain gimana jadi aku. Kalaupun kotor, aku janji nggak akan menularkan penyakit jenis apapun ke orang lain. Aku juga nggak ada rencana menikah."
"Itulah kenapa aku paksa kamu buat test. Siapa tahu hasilnya bersih, kamu tetap bisa menjalani kehidupan seperti orang-orang normal pada umumnya."
"Gimana kalau dugaanku benar?!" Air mata perempuan itu langsung menetes.
KAMU SEDANG MEMBACA
Takeaway
ChickLitMasalah ini bermula dari rasa iri Denara pada Raisa, sang kakak yang selalu sukses dalam hal apapun. Raisa, si sulung yang pintar dalam bidang akademis, sukses di bisnisnya dan juga cantik di mata banyak pria. Perempuan duapuluh delapan tahun itu s...