31: Bukan Mereka

758 89 5
                                    

Olivia dan teman-temannya sudah pindah di sebuah rumah pribadi yang memang sudah disiapkan sedari dulu.
"Kamu yakin tidak akan ada yang tau keberadaan kita?" tanya Felipe, melihat rumah ini begitu mencolok.

"Hey percayalah padaku sedikit. Aku bersusah payah mencari rumah ini tau" Amuk Miley.

"Sepertinya aku salah memberimu tugas Miley, tapi baiklah selama kita tak diketahui orang lain maka tidak masalah" ucap Olivia.

Dasya muncul dari dalam rumah itu.
"Sudah ku bereskan semua, ayo masuk" di dalam, keadaan rumah sudah sangat rapi dan indah.

"Mulai sekarang kita tidur terpisah, tidak usah saling berdesakan lagi" gumam Jeff. Lalu ia melirik Dave dan wajah pria itu tampak lesu.

"Dave kau kenapa sedari tadi diam saja?" Dave langsung menggeleng.

Lalu Olivia menatap Dave tajam.
"Sudah ku beritahu sejak awal jangan pernah menaruh perasaan pada mereka! Putuskan Bagas besok aku tak mau dengar alasan apapun lagi!" Olivia berjalan menuju kamarnya yang di lantai bawah lalu menutup pintu itu dengan kencang.

"Jadi kau-" belum Miley melanjutkan Dave sudah berkata.

"Aku memberitahu Olivia bahwa aku tak bisa meninggalkan Bagas, Yap itu salahku aku akan membuang perasaan itu jauh-jauh kita harus ingat tujuan awal kita bukan?" Dave segera pergi, keempat lainya hanya terdiam. Bisakah mereka benar-benar ke tujuan akhir jika awal nya sudah berantakan.

Olivia sendiri hanya menatap atap kamar nya, ia tiba-tiba memikirkan Resti yang menangis dan mengatakan bahwa ia bukan Olivia. Terdengar aneh namun apa yang Resti harapkan dari nya.

"Jangan bilang, selama ini gadis itu menganggap aku seperti ibu peri" Olivia tersenyum meremehkan.

"Aku tidak percaya akting ku sebagus itu atau memang dia yang naif" Olivia mulai menutup matanya, ia perlu mengendurkan urat-urat nya karena sudah banyak bicara hari ini.
.
.
.
.
.
Resti menangis, rasa sakit dan rasa bersalah menyelimuti perasaan nya. Ia masih belum mau membuka pintu kamarnya sejak pulang sekolah bahkan belum makan sama sekali.
"Kak buka pintunya kak, kakak belum makan nanti sakit" ucap mamah nya sambil mengetuk pintu pelan.

Resti membuka pintu, mamah nya syok karena Resti terlihat sangat kacau. Resti langsung memeluk mamah nya dan menangis sejadinya.
"Kakak nangis sepuasnya gak apa-apa, mamah akan jadi sandaran kakak" Resti makin kejer.

Setelah Resti tenang, ia menceritakan semua kejadian hari ini kecuali mengenai bahwa Resti memiliki pacar sesama jenis. Mamah nya mengangguk dan agak terkejut mendengar nya.

"Di posisi ini kamu tetep salah kak, kamu menghina teman bule mu karena seksualitas nya itu saja udah salah dan kamu menghina nya di depan umum. Kalau mamah yang jadi si bule mamah bisa aja bakar kamu hidup-hidup, tapi kalau kamu emang di suruh dan di ancam kamu mungkin bisa memperbaiki nya kak"

Resti masih sesenggukan
"Gimana caranya mah?"

"Kamu bilang si bule berubah dan kaya punya tujuan yang aneh ya udah kamu bantu dia aja" Resti rasanya pen banget getok mamah nya.

"Ih mamah, dia itu cerdas ya kali butuh bantuan aku. Yang ada aku dijadiin babu sama dia"

"Ya kan siapa tau dia butuh tukang pukul, kamu kan cocok jadi tukang pukul kak" Inilah alasan Resti selalu cerita apapun ke mamah nya. Mamah nya bukan hanya saja mendengarkan tapi memberikan solusi plus ngelawak.

"Kak, bule yang kakak maksud itu bule yang jagain kakak di rumah sakit bukan?" Resti mengangguk pelan.

"Ya ampun kak cepetan minta maaf sono! Keliatan banget dia itu orang mehong, nanti kalo kakak ada apa-apa dia pasti bakal bantuin. Mamah yakin, kakak dimasukin barisan ke-2 di paskib karena dia juga"

"Mamah dukun ya?"

"Bukan, mamah setan"

"Pantes Resti mencium bau-bau bangke ternyata ada setan"

Ya begitulah pembicaraan tak berarti antar emak dan anak nya yang sama-sama abstrak.
.
.
.
.
.
Bagas sedang bermain game bersama Dave di rumahnya, Bagas memberi pesan ke Dave bahwa ia sendirian di rumah lalu lima menit kemudian Dave sudah berada di depan rumah nya.

"Anjir kalah lagi!! Fiks lo curang!" mereka main PES dan dari tadi Dave melulu yang menang.

"Itu tandanya kamu butuh latihan" Bagas masang muka kesel tapi keliatan lucu di Dave yang akhirnya berakhir pipi Bagas di uyel-uyel ama Dave.

"Dave cukup. Gua mau nanya hal yang serius" Dave masih tersenyum santai sambil mengangguk.

"Lo gak berkaitan dengan rencana Olivia kali ini kan?" senyum Dave runtuh, wajah nya datar dan menatap Bagas serius.

"Jika saya bersangkutan juga bagaimana?" Bagas langsung meluk Dave erat, Dave kaget. Gak biasanya Bagas se-manja ini.

"Jangan tinggalin gua please” Dave tak mengindahkan Bagas, ia melepas pelukan Bagas secara perlahan.

“Aku paham ini menyakitkan, tapi Bagas akan lebih sakit lagi jika kamu tetap bersama denganku. Aku tahu kamu kuat dan soal rencana itu memang benar. Dengar Bagas di hidup ini pasti ada yang namanya perpisahan, dan ini saatnya kita berpisah. Aku tidak ingin kamu sakit terlalu dalam atau lebih tepat nya aku tidak mau kamu berada dalam bahaya” Bagas udah berkaca-kaca, dia cowo tapi gak tau kenapa kalo sama Dave bawaan nya mellow melulu.

“Setelah rencana kamu selesai apakah ada kemungkinan kita bisa kembali?”

“Aku tidak tahu, Do'akan aku berhasil”

“Gua gak mau ngedoain kalo lo berubah juga kaya Olivia”

Dave tertawa.
“Itu sifat aslinya, Olivia yang kalian kenal selama ini hanya kepalsuan. Tapi, aku selalu bersikap apa adanya terutama padamu”
.
.
.
.
.
Olivia sudah melihat semua berkas yang ia kumpulkan selama satu semester lebih, tinggal satu langkah lagi yaitu tanda tangan kepala sekolah dan rencana nya bisa berhasil untuk mengakusisi sekolah negeri terbaik.

Tanda tangan ini tentu saja tidak ia dapatkan dengan mudah, mungkin beberapa ada yang mudah karena mereka sudah tamak akan harta tapi beberapa lagi Olivia harus membawa Dasya kemari untuk menyelidiki masa lalu mereka dan menjadikan nya senjata.

Ponsel Olivia berdering, Olivia tersenyum begitu mengetahui seseorang yang menelpon nya.
“Halo bagaimana tawaran ku?”

“Olivia, ibu gua kritis dan gak ada rumah sakit manapun yang nerima. Gua minta maaf Olivia, gua minta maaf”

“Minta maaf mu sudah basi Lulu, kau Terima tawaran ku maka kau dan ibumu akan ku terbangkan ke rumah sakit Eropa terbaik. Bagaimana?”

“Gimana caranya gua dapetin tanda tangan kepsek Olivia, lagipula dia mana mau ketemu sama gua”

“Kau lupakah, kau kan termasuk murid pandai pikirkan caranya sendiri aku hitung sampai 5 atau Kau harus bersedia menjadi yatim piatu”

“Satuu... ”

“Dua.. ”

“Gua setuju! Please bantuin ibu gua Olivia”

“Pilihan yang tepat, saya akan mengirim orang untuk jemput ibumu agar mendapat perawatan terbaik dan ingat semua yang kau katakan sudah ku rekam. Jika kau berani berkhianat maka ku pastikan kau akan hancur selama-lamanya” Olivia memutuskan telepon nya.

Olivia keluar kamar dan menemui Jeff yang sedang menonton Televisi.
“Jeff kau jemput Ibu Lulu lalu kau urus perawatan rumah sakitnya di rumah sakit pribadi ku. Akan ku kirim letak nya sekarang”

“Baiklah, kau mau menitip sesuatu?”

“Mungkin batagor tidak buruk” Ucap Olivia masih dengan wajah acuh nya.


TBC

ButterflyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang