55

204K 36.7K 4.1K
                                    

Di kamar asrama tersebut, mereka kembali menjadi tiga orang penghuni seperti sebelumnya. Skara langsung mengurus proses perpindahan ke kamar asrama yang lain sejak sore itu agar tidak berhubungan lagi dengan mereka, terutama Sagara.

Sejak kecil karena penyakitnya, Skara selalu berada di dalam rumah. Dia belum berinteraksi dengan banyak orang dan belum melihat bagaimana dunia luar yang sebenarnya. Dan begitu bermasalah dengan seseorang seperti Sagara, dia memiliki ketegangan tersendiri di lubuk hatinya.

Pada sisi Sagara, setelah pulang dari rumah Skaya, dia selalu diam. Bahkan Alwin dan Zahair yang berisik ikut hening karena atmosfer yang rendah di sekitar Sagara.

Keesokan paginya, mereka kembali masuk sekolah seperti biasa. Setelah mengetahui bahwa Skaya telah diganti kembali oleh Skara, mereka baru menyadari banyak perbedaan di antara mereka. Khususnya sarapan. Alwin dan Zahair merasa sedih sebab tidak ada lagi sosok Skaya yang sering menyiapkan sarapan di pagi hari.

Sagara tidak memiliki suasana hati yang baik sejak kemarin. Dia duduk di kelas sepanjang hari tanpa gerakan lebih. Dengan satu tangan menopang dagu, tangannya yang lain memainkan pulpen di sela jarinya.

Jika dulu Skaya masih di sini, dia akan selalu melirik tempat duduk gadis itu. Namun saat ini, menoleh sedikit ke samping saja tidak, apa lagi melirik tempat Skaya yang diduduki Skara. Jika melihat kembaran pacarnya, dia mudah emosi sebab teringat kata-katanya yang tajam.

Saat bel pulang sekolah berbunyi, mata tanpa riak Sagara tertuju pada Skara. Karena dia tidak bisa mendapatkan informasi lebih dari Verana kemarin, hari ini dia harus mendapatkannya dari Skara.

Dengan langkah lambat dia mengikuti Skara yang berjalan dengan siswa lainnya. Namun tingkahnya jatuh di mata teman Skara sebagai sesuatu yang creepy.

“Skar, lo punya masalah sama Sagara?” bisik siswa tersebut takut sebab Sagara masih mengikuti mereka dalam hening namun secara terang-terangan.

Skara menoleh sedikit dan tiba-tiba merinding entah karena apa. Mungkin kejadian di mana Sagara menghancurkan cermin tanpa ragu masih membekas di benaknya, membuatnya takut dengan sosok Sagara hingga sekarang.

“Gak tau,” balas Skara ragu.

“Bukannya lo sama dia akrab?”

Skara terdiam sesaat sebelum menjawab, “Bukan gue.”

“Hah?”

“Berhenti.” Suara itu membuat keduanya menjadi membeku.

Siswa di samping Skara memberanikan diri berbalik dan seketika canggung menghadapi Sagara yang semakin mendekat. Dia melirik Skara lalu menepuk pundaknya. “Gue duluan, bro.”

Melihatnya melarikan diri, Skara mendengkus pelan.

“Skaya di mana?” Seperti biasa, Sagara akan langsung pada intinya.

Kening Skara mengerut menatap Sagara yang kini berada di hadapannya. Dia merasa kesal, kenapa Sagara bersikukuh mencari Skaya? Padahal mereka hanya pacaran.

Baru hendak Skara ingin berkata ketus, tenggorokannya tercekat mendapati sorot mata dingin Sagara. “D-dia balik ke sekolahnya.”

Alis Sagara terangkat. “Gue tau. Di mana sekolahnya?”

Skara mundur selangkah. Aneh, dia tidak bisa menahan ketakutan begitu bertatapan dengan Sagara. “Skaya gak kasih tau lo? Ngapain nanya gue?”

“Bacot. Tinggal ngomong di mana sekolahnya.” cibir Sagara datar lalu menyipitkan mata. “Atau perlu gue bantu biar lo buka mulut?”

Skara mengepalkan tangan dengan keringat tipis di keningnya. Dia benar-benar membenci berurusan dengan laki-laki ini. “SMA Dharma Surabaya.”

Selepas mengatakannya, Skara pergi meninggalkan Sagara yang bergeming. Dia harap Sagara tidak datang menemuinya lagi lain kali.

Skaya & the Big Boss ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang