73

187K 38K 14.1K
                                    

Pada hari pertama masuk sekolah di semester baru, sekolah cukup ramai dengan kebisingan. Semua hal yang bisa diceritakan terlontar dari mulut semua orang, seolah mengeluarkan semua hal yang mereka alami pada liburan kali ini.

Di sebuah kelas yakni XII-IPA 3, semua penghuninya beberapa kali melirik dua siswi cantik yang duduk di deret tengah. Apa lagi wajah salah satu siswi baru yang membuat mereka semua penasaran.

Skara cukup terkenal di sekolah. Apa lagi sebelumnya selalu bersama Sagara. Maka dari itu sebagian orang mengenalnya. Jadi begitu melihat gadis yang mirip dengan Skara, mereka kaget setengah mati.

Skaya dan Skara? Semua orang mulai membuat kesimpulan tersendiri dalam hati.

“Lo kenal Skara?” tanya seorang siswi yang duduk di deret samping Skaya, penasaran.

Cici yang duduk di belakang langsung mendahului Skaya untuk menjawab, “Skara kembarannya dia.”

Mata gadis itu berbinar. “Gila! Gak nyangka banget gue bisa sekelas sama kembarannya Skara.”

Skaya melirik Cici lalu menggeleng pelan, heran. Namun memikirkan dia resmi menjadi siswi SMA Lesmana, sudut bibirnya terangkat. Bukan untuk menggantikan Skara, mengenakan seragam laki-laki dan tinggal di asrama putra. Melainkan dia pindah untuk dirinya sendiri, mengenakan rok sebagai seorang siswi dan tinggal di asrama putri.

Sudah Skaya bilang, dia sangat menyukai sekolah ini. Maka dari itu saat Sagara menyatakan ide untuk pindah ke sekolahnya, dia dengan tegas menolak sebab dia memiliki rencana sendiri.

Meski tidak sekelas dengan Sagara, Skaya tetap puas. Setidaknya mereka tetap satu kota dan satu sekolah.

Drrttt ddrtt

Big Bos : Aya, lo di mana?

Alis Skaya terangkat lalu membalasnya dengan senyuman.

Skaya : Sekolah gue.

Big Bos : Kayaknya gue halusinasi denger berita anak pindahan kelas IPA 3 namanya Skaya.

Big Bos : Aya, keknya gue kangen berat sama lo sampe gini.

Skaya terbahak melihat dua chat berturut-turut yang masuk. Entah kenapa dia bisa membayangkan suara Sagara yang mengatakan kalimat tersebut. Sangat manja. Dia hendak mengetik namun diurungkan begitu menemukan sesuatu yang lebih menarik.

Mengangkat ponselnya, dia berfoto ria lalu mengirimkannya ke Sagara tanpa mengucapkan apa-apa.

Chatnya sudah di-read, namun dia tidak mendapat balasan apa-apa. Menghela napas, dia meletakkan ponselnya di atas meja lalu memutar-mutarnya.

“Wali kelasnya mana? Kok belum dateng,” gerutu Cici yang duduk di belakang kesal.

Skaya berbalik dan menatapnya suram. “Lo kenapa ikut pindah, sih? Bikin ribet aja.”

Cici memanyunkan bibir. “Kita kan sahabatan, Skay. Lo tega bener ninggalin gue sendiri. Papa Mama gue kerja di Jakarta, sekalian aja kan gue pindah? Lagian gue juga jatuh cinta sama seragam ni sekolah.”

“Alesan!”

Akhirnya Cici melepaskan ekspresi berbinarnya dan mencibir, “Lo lebih pentingin pacar dibanding sahabat. Parah, gue sakit hati.”

“Drama banget ya lo Ci,”

“Hehehe,” Cici cengengesan melihat mimik datar sahabatnya. Baru hendak mengatakan sesuatu, dia terdiam sebelum menyodok lengan Skaya. “Lihat ke depan.”

Alis Skaya terangkat. Posisinya saat ini tengah berbalik ke belakang tempat Cici berada, jadi dengan setengah hati dia kembali menatap ke depan lalu tersentak melihat sosok di ambang pintu yang menatapnya lurus.

Skaya & the Big Boss ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang