65

196K 37.2K 16.1K
                                    

Ada raut ketidaksabaran di wajah wanita tua itu. Matanya terus melirik jam dinding dan mendumel pelan kemudian, “Kapan dia datang?”

Wiro menatap ibunya lalu menghela napas. Dia sangat mengenali tempramen Nenek Naya. “Sabar, Bu. Saya dengar dia seorang pengacara. Duduk dan tunggu saja.”

“Skara, kalau kamu lelah tidur aja.” Verana menggenggam tangan Skara lembut. Hatinya tak tega melihat wajah pucat sang anak. “Bunda janji kalau tamunya udah dateng, Bunda bakal bangunin kamu.”

Alis Skara terangkat sedikit dan menarik tangannya dari genggaman Verana. Ada penolakan samar dari tindakannya. “Gak papa.”

Pintu terketuk. Menebak sang tamu sudah berada di sini, Wiro bangkit dan membukakan pintu. Ada senyum sopan di wajahnya. “Selamat pagi.”

Fathan mengulurkan tangan untuk menjabatnya. “Pagi,”

“Silakan masuk, Pak.” Wiro minggir untuk mempersilakannya masuk dan mengarahkannya duduk di sofa. Di seberangnya sudah ada Skara yang duduk di kursi roda.

“Skara kembarannya Skaya, kan?” Fathan tersenyum sedikit. “Cukup identik.”

Mata Skara mengerjap pelan dan menatapnya dalam diam.

Fathan berdeham pelan lalu dengan wajah profesional berkata, “Maaf jika kedatangan saya terlalu tiba-tiba. Saya di sini ingin memberikan wasiat yang ditinggalkan Tuan Tomo sebelum beliau meninggal.”

Mata tiga orang selain Skara melebar. Mereka tidak tahu bahwa Kakek Timo akan membuat surat wasiat sedemikian rupa.

“Kenapa Bapak baru datang sekarang?” tanya Verana bingung.

Pandangan Fathan beralih pada wanita itu. “Tuan Tomo menekankan pembagian surat wasiat ini ketika sang kembaran telah berusia 17 tahun. Sebelumnya Skaya sedang berada di luar negeri sehingga saya tidak memiliki kesempatan untuk melakukannya.”

Semua orang terdiam, tidak ada lagi yang bertanya. Agaknya Fathan cukup puas dan mengeluarkan dokumen dari tasnya sebelum kembali melanjutkan, “Apa yang tercantum dalam wasiat almarhum Tuan Tomo mecantumkan bahwa rumah dan tanah di Bandung serta saham perusahaan keluarga sebesar 15% akan akan menjadi milik Skara.”

“Hanya itu?” Nenek Naya memotong dengan mata terbelalak. “Saya ingat suami saya memiliki lebih banyak aset dan saham perusahaan yang dia pegang sekitar 55%. Ke mana sisanya?”

“Sisanya akan dialihkan ke Skaya.”

“APA?!”

Fathan tetap tenang, sepertinya sudah menduga reaksi mereka seperti itu. Ketika teringat saat-saat Kakek Tomo memintanya menjaga Skaya bahkan di saat kritisnya, ada perasaan tertekan yang dia rasakan. Dia tahu Skaya karena telah menjadi sahabat anaknya. Siapa sangka begitu Kakek Tomo mengetahui tentang profesinya, dia segera membuat surat wasiat melalui dirinya dan meminta tolong untuk menjaga cucu perempuannya.

Dia tidak tinggal lama. Setelah mengurus beberapa hal dengan keluarga itu, di bawah ketidakpercayaan mereka Fathan keluar dari bangsal.

Kini hanya ada keluarga itu yang terdiam seolah nyawa mereka telah terenggut. Sedangkan Skara hanya diam, menunduk memainkan jemarinya tak minat.

“K-kenapa bisa seperti ini?” Nenek Naya berkata histeris. “Laki-laki tua itu! Untuk apa memberikan banyak harta kepada cucu perempuan yang akan menikah dengan orang luar?!”

“Ayah tidak adil,” Verana berdecak kesal. “Skara juga cucunya, tapi kenapa Ayah selalu berpihak pada Skaya?”

“Bukannya kalian juga selalu berpihak padaku?” Skara yang sejak tadi diam membuka suara. Dia menatap dua wanita itu datar, ada sedikit ketidakpuasan dalam benaknya.

Mungkin karena selalu terbayang saat-saat Skaya menolongnya, ada hati nurani yang bersalah dalam dirinya terhadap kembarannya.

“Skara, kalian berbeda!” Nenek Naya menjelaskan dengan gusar. “Kamu anak laki-laki, penerus keluarga. Sedangkan dia? Hartanya akan menyatu dengan suaminya, tidak menjadi milik keluarga kita!”

Wiro mengusap wajahnya, sepertinya juga memikirkan hal ini. Melirik wajah pucat Skara, dia menghela napas dan melirik Nenek Naya serta Verana. “Ayo keluar. Skara butuh istirahat.”

Memikirkan kondisi sang anak, Verana segera menyetujui. Dia membantu Skara balik ke brankarnya sebelum pergi mengekori Wiro dan Nenek Naya yang keluar terlebih dahulu.

“Mas, bagaimana ini?” Verana meremas jemarinya gugup. Saat ini mereka berdiri di balkon ujung koridor.

“Kita temui anak itu dan suruh dia melepaskan warisannya.” Tutur Nenek Naya bulat.

“Bu, jangan mulai. Saya tidak ingin terjadi masalah seperti sebelumnya lagi.” Wiro menegur dengan kening berkerut.

Nenek Naya menatapnya tak sabar. “Terus bagaimana?! Ibu tidak mengerti bagaimana cara berpikir Ayah kalian. Kamu juga, Ver, kenapa terlalu melepaskan Skaya sampai dia menjadi akrab dengan Ayah kalian?”

Kali ini Verana menatap Nenek Naya terkejut. “Salah saya, Bu? Sejak dulu saya selalu memusatkan perhatian pada Skara yang sakit, tidak punya waktu mengurus Skaya! Kenapa Ibu tidak melihatnya?”

“Verana! Jangan seperti itu sama Ibu.” Wiro menatapnya muram.

Verana terkekeh. Matanya mulai berkaca-kaca. “Di mata kalian saya selalu salah, kan? Sejak dulu saya diam ketika Ibu tanya, cuek, marah, dan hina saya karena tidak punya anak. Saya juga tertekan, Mas!”

“Kamu—” Nenek Naya menatapnya tak percaya dan hampir jatuh jika saja tidak ditahan Wiro.

Raut Wiro semakin kusam. “VERANA!”

“Saya capek, Mas!” lirih Verana. Dia menatap sang suami dengan tegas. “Saya ditekan bertahun-tahun bahkan Ibu berencana agar kamu memiliki istri kedua karena menganggap saya mandul. Tapi kenyataan? Itu kamu Mas! Kamu yang tidak bisa memberi kami semua anak!”

“Apa?”

Mereka semua berbalik, kaget. Mendapati Skara yang berdiri lima meter jauhnya menatap mereka dengan wajah yang sangat pucat.

TBC

July 16, 2021.

Ngengggg.... mari kita bongkar sebelum ending.

Ngerti kan masalah yang ada di part ini?

Btw aku mau bikin grup Skaya & the Big Boss. Berapa banyak yang niat masuk? Coba pilih aplikasi chat apa yang kane dibuat grup.

• Telegram

WhatsApp

10K komen untuk next part! Spam di sini...

Skaya & the Big Boss ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang