57

208K 40.6K 10.5K
                                    

Rasanya membosankan. Skaya berbaring malas di brankar pasien rumah sakit dan menatap langit-langit ruangan itu. Sudah hampir dua minggu dia berada di negeri ini. Begitu sampai, Keira langsung menempatkannya di tempat ini dan diperiksa secara detail oleh dokter. Dikatakan bahwa setelah menjalankan kemoterapi beberapa kali, Skaya akan sembuh total.

Melihat Sagara akibat ulah Cici, Skaya jadi merindukannya. Dia tidak tahu mengapa Sagara sebelumnya tidak dapat dihubungi. Berhubung Cici telah memberikan laki-laki itu nomornya, Skaya berharap dia dapat menghubungi dengan cepat.

Namun agak mengecewakan. Sampai hari ini, Skaya tidak menerima panggilan atau pesan apa pun dari laki-laki itu. Bahkan keluarganya pun tidak ada. Mengingat Bundanya, gadis itu tersenyum miris. Jadi bukan karena penyakit Skara dia selalu menyayanginya. Mungkin karena wanita itu lebih mengharapkan anak laki-laki?

Sejak dulu dia ingin berbahagia bersama keluarganya. Dimanja, diperhatikan serta dikhawatirkan. Namun setelah membuat kesimpulan tentang alasan Verana lebih memperhatikan Skara, perasaan Skaya mulai memudar. Untuk sekarang, dia ingin hidup bahagia dan sehat.

Dalam keadaannya melamun, ponselnya bergetar. Dia mengira itu Cici dan mengangkatnya dengan lesu. “Halo?”

“Aya?”

Jantung Skaya berdetak cepat. Dia yang tadinya terbaring malas langsung menegakkan punggung, kaget. Diam sejenak, Skaya mencicit, “Big Bos?”

“Lo...” Terdengar helaan napas dari Sagara. “Gue kangen lo.”

Skaya menggigit jari jempolnya gugup. Suara laki-laki itu begitu gusar, membuatnya merasa nyeri dalam hati. “Maaf, gue gak ngomong apa-apa sama lo.”

“Gak, lo gak boleh minta maaf. Itu seharusnya gue. Kalo hp gue gak ilang, pasti gue gak bakal seribet itu nemuin lo.”

“Tapi lo dapet juga kan dari Cici?” goda Skaya tanpa sadar.

“Cici? Jadi itu nama temen gak berguna lo?” dengkus Sagara membuat gadis itu terkekeh.

“Gak berguna tapi bermanfaat juga, kan?” Skaya terkikik. Dia jadi bernostalgia saat-saat dirinya masih berada di asrama. “Gimana kabar Alwin sama Zahair?”

“Kita baru ngobrol beberapa detik dan lo punya waktu perhatiin mereka?”

Oh, suara Sagara terdengar seperti orang cemburu. Hal ini membuat Skaya tertawa geli. “Temen gue tuh.”

“Tapi gue calon suami lo.”

“Pacar,” koreksi Skaya.

“Gue marah, Aya.” Sagara mulai memprotes. “Sebelum lo pergi, lo buang-buang duit traktir tuh dua curut.”

Kening Skaya mengerut. Dia hanya mentraktir Zahair dan Alwin sebagai salam perpisahaan. Bukankah Sagara yang lebih sering menghamburkan uang?

“Gak papa. Sesekali senengin mereka.”

Sagara terdiam sesaat. “Tapi lo gak perlakuin gue kek gitu...” gumamnya namun terdengar jelas di telinga Skaya.

Mata monolid gadis itu terbuka lebar, tak percaya. “Big Bos, lo beneran jealous? Kayak kata Cici kemaren, lo juga cemburu waktu Cici bilang dia pacar gue?”

Jelas Sagara tidak menyangka gadisnya akan mendengar percakapannya dengan Cici. Matanya yang tajam mulai menyipit. “Lo denger percakapan gue sama tu cewek?”

Tubuh Skaya menegang kemudian tertawa canggung. “Sebenernya waktu lo sama Cici ngobrol, kita lagi VC-an.”

“Kalian...” Sagara menghela napas. Dia merasa seperti dipermainkan oleh kedua gadis itu. Ingin sekali rasanya Sagara menemui Skaya dan menggigit pipi tembamnya sebagai hukuman!

Skaya & the Big Boss ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang