56

204K 37.6K 3.5K
                                    

Lingkungan sekolah sudah sepi sejak dua jam yang lalu. Sambil memegang ponsel, Cici keluar dari sekolah dengan santai. Dalam hati dia kesal setengah mati. Sudah seminggu dia diganggu oleh Sagara yang menunggu di depan sekolah, membuatnya harus diam-diam pergi tanpa dilihat oleh laki-laki itu.

Namun dari kemarin Cici tidak melihatnya, sehingga dia yakin bahwa hari ini Sagara tidak datang lagi. Meski yakin, dia masih menunda jam pulangnya untuk berjaga-jaga.

Menempelkan ponsel di telinganya, gadis itu menggerutu, “Gue—AH!”

Ucapannya terhenti begitu tudung jaketnya ditarik dengan kencang, membuatnya hampir terjungkal ke belakang. Berbalik dengan kesal, keinginannya untuk mengomel seketika tersangkut di tenggokannya.

“Mau kabur ke mana lo?”

Menelan salivanya dengan susah payah, Cici mencoba mengambil jarak di antara mereka sembari memasukkan tangannya yang memegang ponsel ke saku jaket. “Lo siapa ya? Emang kita deket? Gue tau gue cantik, tapi gak perlu lah ya kejer gue sampe segininya.”

Sudut bibir Sagara berkedut mendengar kepercayaan dirinya. Entah kenapa mengingatkannya kepada Skaya. “Gak usah berlagak. Skaya sekolah di sini? Kenapa gak pernah kelihatan?”

“Skaya apa? Benda dari mana tuh yang nama Skaya?” tanya Cici asal-asalan.

“Kasih tau gue semua tentang Skaya,” ujar Sagara datar, tidak menghiraukan penolakannya.

Kening Cici mengerut samar sebelum tersenyum cerah. “Ada cafe di persimpangan depan. Lo sama gue ngobrol baik-baik di sana aja. Gimana?”

Sagara melirik jalan. Memang benar sekitar 50 meter terdapat persimpangan. “Hm.”

Menaiki motornya yang terparkir tak jauh, Cici hendak mengikuti sebelum Sagara meliriknya dengan jijik. “Ngapain lo?”

“Mau nebeng,” jawab Cici tanpa beban.

“Punya kaki?”

Cici mendengkus. “Lo buta? Gak liat gue berdiri pake apa?”

Mendengar jawabannya, Sagara mengangguk. “Kalo gitu jalan sendiri.” Setelah itu dia memakai helmnya dan melajukan motor meninggalkan Cici yang tercengang.

“IH SKAYA! COWOK LO NYEBELIN ABIS!!!”

Dua puluh menit Cici habiskan berjalan kaki hingga sampai di cafe yang dimaksud. Matanya memicing melihat Sagara duduk tenang sambil memainkan ponselnya di meja sudut.

“Seharusnya lo baik-baikin gue. Kan lo yang butuh info dari gue, kenapa gue yang dipersusah?” Itulah kalimat yang Cici lontarkan begitu menjatuhkan bokongnya di kursi depan Sagara.

“Perlakuan istimewa gue cuma buat pacar gue.” Sagara meletakkan ponselnya di atas meja tak acuh sembari menyandarkan punggung dengan kedua tangan bersilang di depan dada. “Jadi?”

Cici yang baru selesai memesan minuman merengut kesal. “Ya lo tanya dulu. Gue bingung mau jelasin apa.”

“Di mana Skaya?”

“Lo gak tau? Skaya daftarin diri jadi astro—” Kalimat selanjutnya tidak bisa Cici lanjutkan karena tatapan dingin Sagara. Mendengkus dalam hati, Cici kembali merutuk. Laki-laki ini tidak bisa diajak bergurau sama sekali. “Dia di luar negeri.”

Alis Sagara terangkat. “Ngapain?”

Cici belum menjawab karena pesanannya baru diantar. Meneguk minumannya dengan perasaan lega, dia kemudian memandang Sagara sinis. “Ganteng doang, pacarnya kesusahan malah gak tau.”

To the point. Maksud lo?”

Cici menghela napas. “Skaya lagi sakit, anjir. Gak tau aja lo sebelum ke luar negeri, dia berusaha hubungi lo tapi gak ada respon.”

Jantung Sagara berdenyut. Entah kenapa ada rasa sakit di dadanya. Namun fokusnya kembali pada masalah Skaya. Dengan kerutan dalam di dahi, dia bertanya, “Pacar gue sakit apa?”

“Parah pokoknya. Dia gak mau lo tau.”

“Di negara mana dia?”

“Gak tau,” Cici mengedikkan pundak malas. Dalam hati dia berdecak. Dia sebenarnya ingin menemani Skaya di sana, namun sahabatnya itu memaksanya pulang untuk bersekolah. Jadi tentu saja Cici tidak akan membiarkan Sagara dengan mudah menggantikan posisinya.

“Kenapa Skaya bisa punya temen ngeselin kayak dia, sih?” gumam Sagara sambil mengusap pelipisnya.

Mendengarnya, Cici jelas tidak terima. “Kenapa Skaya bisa terima lo sih? Keliatannya lo suka sesama jenis.”

Sagara kembali menatapnya dingin. “Mata lo katarak?”

“Bener, kan? Jangan kira gue gak liat. Waktu gue dateng jemput Skaya dan bilang gue pacar dia, lo jealous, kan?” tuding Cici dengan senyum mengejek.

“Skaya cewek.”

“Kalo cowok gimana? Tuh mukanya Skara sama kek Skaya. Kenapa gak homoin Skara aja sekalian?”

“Si brengsek? Dia gak bisa dibandingkan sama pacar gue.” desis Sagara membuat pandangan Cici seketika berubah.

“Lo juga ngerasa dia bajingan?” tanya Cici takjub dan bersemangat. “Ajegile. Kita sekarang temenan!”

Alis Sagara terangkat. Sepertinya Skara sering merusak nama Skaya hingga Cici sangat bahagia mencacinya. “Dia emang gitu?”

Cici menampar meja di hadapannya gemas. “Asal lo tau, dalam keluarganya Skaya kek cinderella.”

Sagara merenung mendengarnya. “Tapi sama gue Skaya jadi pangeran.” Dan dirinya adalah Rapunzakiel.

“Hah? Apa?” Cici menyesap minumannya dengan tatapan bingung karena tidak mendengar gumamannya.

Laki-laki itu menggeleng pelan mengenyahkan pikirannya yang melayang. “Kalo lo gak bisa kasih tau apa-apa tentang Skaya, bisa kasih tau gue nomornya?” Kali ini Sagara memintanya dengan sedikit lunak.

Cici tersentuh akan keteguhannya. Seminggu ini memerhatikan Sagara yang terus berada di sini, dia mulai yakin bahwa laki-laki ini cukup serius dengan sahabatnya. Jadi dengan berbaik hati dia menyebutkan serangkaian nomor ponsel Skaya dan menasehati, “Kata Skaya, lo mesti balik dan belajar dengan bener. Dia gak mau lo nyusul dia atau bolos lagi.”

Meski cuma mendapatkan sedikit informasi dan nomor Skaya, Sagara cukup merasa puas. Setidaknya seminggu ini meneror Cici tidak merugikan sama sekali. Meski sebenarnya dia malas jika bukan demi Skaya.

Thanks.”

Lalu di bawah tatapan Cici yang linglung, Sagara bangkit dan keluar meninggalkannya. Melihatnya sudah keluar, dengan cepat Cici mengangkat ponselnya yang sejak tadi dia pegang secara tersembunyi.

“Liat tuh cowok lo! Ngeselin!” rengek Cici membuat sosok di layar terkekeh.

Cowok gue tambah ganteng,” Skaya tersenyum lebar. Sejak memasuki cafe, Cici membuat video call dengannya dan menggunakan kamera belakang sehingga menampilkan sosok Sagara yang sudah lama tidak dilihatnya. Meski hanya sebentar, Skaya merasa manis di dalam hatinya.

“Iya, deh. Beruntung lo punya cogan setia macam dia.”

Bukan gue yang beruntung, tapi dia. Kan gue cantik.” Lalu suara tawa renyah Skaya keluar dari ponsel begitu Cici mulai merutuk karena narsismenya.

TBC

July 06, 2021.

Skaya & the Big Boss ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang