Kehidupan Skaya belakangan ini berjalan sangat baik. Selain karena Sagara, ada Skara yang selalu memperhatikannya. Perubahan kembarannya membuat gadis itu mau tak mau merasa hangat.
Setelah pertengkaran dengan Verana sebelumnya, Skara sudah menjelaskan bahwa Verana dan Wiro bukanlah orang tua kandung mereka. Tentu saja Skaya kaget dan tidak mempercayainya selama beberapa waktu. Namun melihat Skara tidak main-main, dia akhirnya perlahan menerima kenyataan yang datang begitu tiba-tiba.
Saat ini dia sedang mengantri mengambil makan siang di kantin bersama Cici dan Raya. Sangat kebetulan mereka bertemu di koridor. Dengan cetusan ide Raya agar pergi ke kantin bersama, pada akhirnya mereka terjebak di antrian panjang ini.
“Sebelumnya kamar kita cuma tiga orang. Gue, Fia sama satu lagi namanya Rere. Tapi Rere tiba-tiba pindah sekolah karena masalah keluarga, jadi ya sisa gue sama Fia sebelum lo berdua dateng,” kata Raya menjelaskan sembari duduk di kursi dengan meja panjang yang bisa menampung delapan orang.
“Gak ada sejarah gitu kenapa harus di asrama? Berasa film gue,” sahut Cici sambil mengunyah makanannya.
Raya mengedikkan pundak. “Gak tau, mungkin karena lokasi sekolah cukup jauh dari pemukiman?”
Itu benar, SMA Lesmana berada jauh dari tempat pemukiman dengan jalan yang sepi sepanjang jalan ke sekolah ini. Mungkin alasan agar lebih memudahkan siswanya dalam menghadiri kelas membuat mereka memutuskan membangun asrama. Tapi beberapa siswa lain berspekulasi bahwa sekolah sengaja membuat asrama agar mereka tidak mudah membolos dengan alasan klasik seperti sakit.
“Ah, I see,” sahut Cici lalu fokus memakan makanannya.
Derit kursi terdengar, mengambil atensi tiga gadis itu beserta beberapa orang yang duduk di meja lain. Mendongak, mata tiga gadis itu melebar melihat siapa yang datang. Terlebih Skaya, matanya melebar hingga bola matanya terlihat ingin keluar dari tempatnya.
“Hai Neng Cici, agaknya kita berjodoh karena ketemu terus,” Sapaan riang itu membuat Cici seketika cemberut dan menatap Skaya seolah dia telah dianiaya.
Tangan Skaya yang memegang sendok mengerat. Ingin sekali memelototi sosok yang duduk di hadapannya namun takut dilihat oleh orang lain. Diam-diam dia melirik Raya, namun gadis itu hanya menunduk dan makan dengan tenang.
Tiba-tiba Raya mendongak, menatap tiga laki-laki yang duduk di hadapan mereka dengan senyuman tipis. “Kenapa kalian duduk di sini?”
Alwin dan Zahair melirik Sagara, lalu dengan cepat Zahair berdeham. “Gue lagi PDKT sama Cici, jadi berhubung doi gue di sini, sekalian aja bergabung.”
“Doi lo dari Hongkong!” sahut Alwin langsung dengan nada ngegas. “Yang bener Cici doi gue.”
“Enak aja! Siapa bilang gue doi kalian?” timpal Cici kesal.
“Eh, gue gabung ya.” Sebuah suara menginterupsi. Fia bergegas duduk di samping Raya dengan makanannya.
Mendengar Zahair dan Alwin yang masih berkicau tak kenal waktu dan tempat, Sagara menghunuskan tatapan tajam. “Diem.”
Dengan turun tangannya Sagara, kedua laki-laki itu segera terdiam dan dengan tenang memakan makanannya.
“Akhirnya,” desah Cici lega karena tidak lagi diganggu.
Suasana di meja itu hening, berbanding terbalik dengan sekitar mereka yang ramai dengan percakapan. Di keheningan tersebut, sebotol air mineral terdorong tepat di depan Skaya, membuat mereka semua yang ada di meja tersebut menatap sang pelaku.
Meski ditatap oleh enam orang, ekspresi Sagara tetap tidak berubah. “Gue liat lo gak ada air, pinjem aja dulu air gue.”
Pinjam? Kening Skaya berkerut kesal. Dia kembali mendorong botol air tersebut ke depan Sagara menggunakan tangan kirinya yang dilingkari jam tangan putih kecil serta gelang. “Gak usah, gue bawa air kok di kelas.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Skaya & the Big Boss ✓
Novela Juvenil[SUDAH TERBIT & Part Masih Lengkap] Karena suatu alasan, Skaya Agnibrata harus menyamar menjadi seorang laki-laki dan tinggal di asrama laki-laki sekolah. Penyamarannya menuntut Skaya mengubah kebiasaan dan perilakunya. Ada seorang siswa yang disega...