“Sagara, lo gay?”
Wajah Sagara berubah dingin. Matanya yang tajam menatap Avino dalam diam, membuat pria itu bergidik ngeri.
“Maksud gue temen lo.” kata Avino mengubah kalimatnya. “Tapi lo harus tau, jadi gay itu gak baik. Tuhan menciptakan Adam dan Hawa, bukan Adam dan Junaedi.”
“Temen gue gak gay.” bantah Sagara.
“Tau dari mana lo? Bukannya dia jatuh cinta sama temen cowoknya?” sanggah Avino cepat. “Atau gini, coba pegang tangan gue.”
Sagara melirik tangan Avino yang terulur di atas meja dengan jijik. “Buat apa?”
“Lo bisa praktekin apa yang gue buat ini ke temen lo. Kalo dia beneran gay, dia pasti gak nolak kontak fisik dengan cowok lain.” jawab Avino dengan tenang.
Mata Sagara sekali lagi jatuh pada tangan Avino yang besar dan berurat. Keningnya berkerut dan mau tak mau membandingannya dengan tangan Skaya yang lembut, kecil dan halus.
Begitu dia mengulurkan tangan hendak menyentuh tangan Avino, ada gejolak rasa tidak suka dan menjijikkan dalam hati. Suruhan Avino yaitu memegang malah berubah menjadi pukulan.
“What the f—” umpat Avino segera menarik tangannya. Kekuatan Sagara saat menumbuk tangannya tidak main-main. “Gue minta lo megang, bukan pukul!”
Mendengar keluhan Avino, Sagara memandangnya jijik. “Keknya bukan temen gue yang gay. Lo yang gay.”
Avino menggertakkan giginya. “Are you fucking kidding me? Kenapa jadi gue?”
“Lo gak nolak kontak fisik dengan sesama jenis.” jawab Sagara acuh tak acuh.
“Gue beda, Sagara.” kata Avino sembari menarik napas berusaha kembali tenang. Memiliki klien aneh seperti Sagara membuatnya darah tinggi. “Gue psikolog, udah biasa berurusan sama hal kayak kontak fisik. Bahkan kontak fisik sama tante-tante, nenek-nenek, kakek-kakek pun gue jabanin.”
Sagara masih menatapnya seperti sesuatu yang menggelikan, membuat Avino mengusap pelipisnya kesakitan. “Sagara, lo dateng ke sini buat konsultasi atau gangguin gue, sih? Gue masih punya banyak klien yang butuh jasa gue.”
“Rugi banget orang-orang yang dateng ke lo. Gak becus.”
“Apanya gak becus? Lo aja yang gak terima kenyataan dari apa yang gue bilang.”
Sagara mendengkus. Jelas masih tidak terima perkataan Avino tadi. Dia berdiri dan merapikan jaketnya. “Buang-buang waktu gue dateng ke sini.” gumamnya dan melangkah pergi.
Avino menyandarkan punggung pada sandaran kursi. Melihat Sagara yang hendak keluar, senyuman usil tersungging di bibirnya. “Ngomong-ngomong Sa, sejak kapan lo berbaik hati dengerin masalah temen lo?”
BRAK!
Hanya bantingan pintu yang menjawab pertanyaan Avino.
***
Tatkala Sagara kembali ke asrama, dia hanya mendapati Skaya seorang diri di kamar. Dia melepaskan jaketnya, melemparkannya ke atas kasur dan mendekati Skaya yang tidak menyadari presensinya karena fokus menulis di mejanya dengan kedua telinga tersumpal headset.
Sagara bersandar di sisi meja, menunduk menatap Skaya di sampingnya yang masih menulis dengan senyuman tipis terbit di bibirnya. Tangannya terulur dan mengetuk pelan kening Skaya. “Ngapain?”
Skaya mendongak kaget. Mendapati itu adalah Sagara, dia buru-buru melepaskan headsetnya dan mengelus dadanya. “Gue kira siapa.”
Mendengar gumamannya, Sagara hanya terdiam. Dia mengambil buku yang Skaya tulis di meja dan melihatnya. “Dari nomor dua sampe sepuluh salah.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Skaya & the Big Boss ✓
Fiksi Remaja[SUDAH TERBIT & Part Masih Lengkap] Karena suatu alasan, Skaya Agnibrata harus menyamar menjadi seorang laki-laki dan tinggal di asrama laki-laki sekolah. Penyamarannya menuntut Skaya mengubah kebiasaan dan perilakunya. Ada seorang siswa yang disega...