Naya mengerjapkan pelan kedua matanya. Cahaya matahari sudah menerobos tirai jendela kamar. Jam di dinding pun sudah menunjukkan pukul tujuh lebih. Gadis itu lalu menarik kain kompres di keningnya yang tampak sudah mengering.
Pergerakan Naya, membuat Arka yang tertidur di kursi di samping ranjang Naya, seketika terbangun.
"Kamu sudah bangun? Aku kesiangan ya," ucap Arka.
Lalu telapak tangan pria itu terulur ke kening Naya untuk memeriksa suhu badan gadis itu.
"Sudah tidak demam. Bagaimana keadaanmu? Mana yang masih terasa sakit? Kita pergi ke Dokter ya?" ucap Arka.
"Saya sudah baikan, Pak," sahut Naya.
"Syukurlah. Kalau begitu kamu mau langsung mandi, pake air hangat ya..... aku siapkan dulu," ucap Arka ingin beranjak.
"Tidak perlu, Pak. Saya mandi air biasa saja. Saya sudah sehat," ucap Naya.
"Baiklah. Aku antar sampai kamar mandi," ucap Arka.
"Tidak perlu, Pak. Saya bisa sendiri," balas Naya.
"Ohh, baiklah. Kalau begitu aku siapkan sarapan saja ya?" ucap Arka.
Naya mengangguk.
Arka pun bangkit dari kursinya, berbalik kemudian mulai beranjak melangkah. Saat dia baru memegang gagang pintu, Naya memanggilnya.
"Pak," ucap Naya.
Arka segera menoleh. "Ya? Ada yang kamu butuhkan?"
Naya menggeleng. "Terima kasih." Lalu sebuah senyuman tulus terbit di wajah gadis yang sedang menatap Arka itu.
Sepersekian detik Arka hanya bisa terdiam. Pria itu seakan tak percaya dengan seulas senyum yang disunggingkan gadis itu untuknya. Kemudian Arka tersadar, lalu dia pun ikut tersenyum.
"Sudah menjadi tanggung jawabku untuk menjagamu, Nay," ucap Arka.
Naya diam. Lalu Arka pun keluar dari kamar Naya. Untuk beberapa menit, Naya hanya bisa tercenung menatap pintu kamar yang tertutup kembali. Gadis itu menghela napas pelan, lalu bangkit dari ranjang.
Setelah menyibak tirai jendela, Naya pun segera mandi. Kepalanya masih terasa sedikit pusing, tapi sudah jauh lebih baik dari semalam. Mungkin setelah sarapan nanti, dia harus minum obat sekali lagi.
Setelah selesai dengan ritual membersihkan badan dan berganti pakaian, Naya lalu keluar kamar. Dia mendekat ke meja makan, di mana Arka sedang memindahkan bubur ayam ke dalam mangkok.
"Duduklah dulu," ucap Arka sambil menarik kursi untuk Naya.
"Terima kasih," sahut Naya sembari duduk.
Arka lalu meletakkan semangkok bubur ayam dan secangkir teh hangat ke hadapan Naya. "Aku tidak bisa masak sama sekali, jadi aku membeli bubur ayam di gang depan. Kamu tidak keberatan kan?"
Naya menggeleng. "Ini sudah lebih dari cukup, Pak. Terima kasih."
"Berhentilah mengucapkan terima kasih, Nay. Apa yang ku lakukan ini belum seberapa di bandingkan dengan semua kesakitan yang kamu alami selama ini," ucap Arka.
Naya memilih tidak menyahut. Lalu dia mulai menyuapkan bubur ke dalam mulutnya.
"Bapak tidak ikut sarapan?" tanya Naya, karena dia melihat Arka yang hanya berdiri memandanginya makan.
Pria itu menggaruk tengkuknya sambil tertawa kecil. "Iya, ini aku mau sarapan."
Arka lalu mengambil bubur dan kopinya, kemudian duduk kembali dengan Naya dan menikmati sarapannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Istri Pertama (END)
Fiksi Umum{18+}..... "Aku tau kehadiranku tak kau inginkan. Tapi akupun juga terluka. Aku menanggung banyak luka seorang diri sejak dulu. Hingga aku hampir terbiasa dengan semua luka itu." ~ Kanaya Maheswari "Loe itu penganggu! Kehadiran loe cuma ngerusak mas...