Setiap Senin pagi sebelum berangkat ke sekolah, Magda diwajibkan mendatangi ruang kerja Ratih Sukma yang disesaki aroma kain. Selama lima belas menit atau lebih, gadis berusia 17 tahun itu akan mendengarkan sang ibu mengevaluasi hasil belajarnya satu minggu lalu.
Seperti saat ini, Magda sedang duduk dengan pose anggun-menyilangkan kaki dan menangkupkan kedua tangan di paha. Ia menunggu kata-kata meluncur dari wanita berpotongan rambut pendek yang tengah membolak-balik transkip nilainya. Di saat orangtua lain menunggu hasil penilaian tiap semester, Ratih berani membayar mahal demi mendapatkan lembaran kertas itu setiap awal pekan selama satu tahun ajaran penuh. Hanya untuk memastikan segalanya berada dalam kendali yang tepat.
Sambil mengembuskan napas pelan, Ratih melepas kacamata dan meletakkannya di atas meja dengan gerakan yang tertata. "Angka 95 di setiap pelajaran belum cukup, Nduk. Ibu yakin kamu bisa lebih daripada ini," kata wanita itu sambil mengulas senyum sebagai pembuka.
Bukan sembarang senyum, itu pertanda lain bagi Magda. Tanda bahwa ibunya sedang tidak puas atas hasil jerih payahnya selama sepekan bersekolah. "Maaf Bu, Magda janji akan lebih meningkatkan lagi." Hanya itu yang bisa Magda berikan sebagai respons.
"Harus Nduk, seperti doa dalam namamu, Magda artinya semangat. Ibu tidak main-main saat memberimu nama itu," balas Ratih.
Selama bertahun-tahun terjebak dalam situasi ini membuat Magda sadar untuk tidak membangunkan macan yang sedang tidur. Pernah satu kali ia nekat beradu argumen, yang ada kartu kreditnya malah diblokir, pulang sekolah langsung digiring paksa ke rumah, dan guru private didatangkan untuk mengajar ilmu pasti di akhir pekan.
Selama satu bulan Magda pernah merasakan definisi sesungguhnya dari ungkapan hidup di neraka dunia. Karena itulah lebih baik dirinya bersikap legowo, lalu meminta maaf dan berjanji akan memperbaiki nilai pada pekan berikutnya. Ibunya tidak perlu tahu bahwa mempertahankan angka di atas 90 sangatlah berat ketika murid satu kelas, bahkan satu sekolah, begitu kompetitif.
"Nduk, kamu tahu kan kenapa Ibu sampai seperti ini?" tanya Ratih retoris.
"Njih Bu." Magda mengangguk saja. Ia tahu benar awal mula kenapa dirinya harus terus berjuang. Walau terkadang saat berada di titik terlelah, dirinya sempat bertanya dalam hati: Apakah ini akan sebanding?
"Oiya," Ratih teringat sesuatu. Wanita itu mengambil map berwana cokelat dari laci meja kerjanya lalu menyodorkan ke Magda. "Ini salinan pendaftaran untuk One Fine Day. Nanti kamu serahkan ke ruang tata usaha ya. Semoga tahun ini kamu bisa masuk lima besar," harap Ratih sambil mengulas senyum.
Magda menerima map itu seraya membalas senyuman Ratih. Senyum buatan yang sudah diaplikasikan selama ratusan hari Senin. Senyum yang seakan berbicara hore-aku-siap-menghadapi-perintah-apapun-dari-Ibu. Meski kadang keinginan berjalan ke lajur yang berbeda.
Pada One Fine Day tahun lalu, Magda hanya bisa menduduki peringkat enam. Maka tahun ini ia harus berjuang lebih keras supaya posisinya tidak terlempar dari lima besar dan mengecewakan Ratih. Entah bagaimana caranya.
One Fine Day merupakan program khusus berupa ujian simulasi mata pelajaran utama yang diadakan hanya dalam satu hari. Tiap awal tahun ajaran baru, Araminta mengadakan ujian ini guna mencari lima murid dengan nilai tertinggi yang akan diikutsertakan dalam kompetisi antar sekolah. Hadiah kompetisi sangat prestisius yakni para pemenang akan langsung masuk daftar penerima beasiswa di univeritas luar negeri pilihan.
Bagi yang gagal di kompetisi antar sekolah tidak perlu berkecil hati. Karena lima besar program langsung menerima beasiswa dari universitas dalam negeri. Tak heran banyak lulusan Araminta langsung masuk universitas bergengsi baik itu di dalam maupun luar negeri.
"Ibu yakin beasiswa Cambridge bisa kamu dapatkan, Nduk," kata Ratih masih dengan senyum yang menempel. Senyum yang membebani Magda.
"Ya, Cambridge, ya..." Magda tak lagi membalas senyuman itu. Sebenarnya dia ingin berontak dan mengatakan bahwa Cambridge bukanlah tujuannya. Lantaran teringat dengan hukuman yang pernah dilalui saat berani mendebat, lebih baik bercitra sebagai anak baik dan penurut.
"Oke, Ibu rasa cukup hari ini. Ayo sana, siap-siap berangkat ke sekolah," perintah Ratih.
Magda bergegas keluar dari ruangan. Begitu menutup pintu kayu itu, ia baru bisa bernapas lega. Mendengar Ratih memintanya untuk segera berangkat ke sekolah rasanya seperti menang lotere. Rutinitas hari Senin tersebut memang selalu membuat pikirannya kalut. Maka, datang ke sekolah adalah obat, karena selain di kamarnya, di sekolah gadis itu bisa menjadi dirinya sendiri. Menjadi sosok yang lebih ekspresif, bukan seperti boneka kayu yang tangan dan kakinya digerakkan dengan bantuan benang.
Sambil berjalan memasuki mobil yang akan mengantarkannya ke gedung Araminta, Magda mengirim pesan singkat pada Tea. Ada hal penting harus dibicarakan. Perihal apalagi kalau bukan rencana mendekati Keenan. []
Bersambung....
_____
Selamat berkenalan dengan karakter Magda. Masih banyak hal akan diungkap olehnya. So, jangan ke mana-mana. Jangan lupa bagikan jejak berupa votes, reaksi, kritik dan saran! 🤟🏻
KAMU SEDANG MEMBACA
INTRICATE
Teen Fiction[FOLLOW SEBELUM MEMBACA] Jangan lupa vote dan comment ya! Sekelompok remaja terseret kasus pembunuhan di sekolah Araminta International School. Siapa pelakunya? Highest Rank #1 in Crime Highest Rank #1 in Murder Highest Rank #1 in Teenagers Highest...