Magda memasukki ruang kerja Ratih Sukma yang disesaki aroma kain. Gadis itu sedikit heran mengetahui sang ibu belum berada di sana. Biasanya, begitu membuka pintu kayu, netra beriris cokelat emas itu akan langsung memindai sosok Ratih dengan kertas berisi transkip nilai di tangan. Saat akan berbalik keluar berniat kabur, sosok yang dicari sudah berdiri di ambang pintu dengan raut muka tak terbaca.
Bukannya langsung duduk dan segera memulai evaluasi, Ratih malah berdiri di tengah ruangan dengan kedua tangan terlipat di dada. Sorot mata yang tajam menghunjam ke arah anak semata wayangnya lekat-lekat. Ditatap seperti itu membuat Magda merasa rikuh. Pikiran gadis itu lalu mengembara ke mana-mana. Mengaitkan alasan apa saja yang bisa membuat ibunya memberikan reaksi demikian.
“Kenapa, Bu?” tanya Magda tanpa berani mengarahkan pandang kepada Ratih. Dia memilih menatap sepatu selop yang digunakan oleh ibunya tersebut.
“Kamu sayang sama Ibu kan, Nduk?” Ratih balik bertanya.
Mendengar pertanyaan itu Magda jelas bingung. “Kenapa Ibu masih bertanya? Siapa lagi yang harus Magda sayang selain Ibu,” jawabnya.
Terdengar helaan napas Ratih. Ada jeda sesaat sebelum wanita tersebut melanjutkan perkataannya. “Kalau kamu memang sayang, kenapa bantah larangan Ibu, Nduk?”
Akhirnya Magda menemukan arah dari sesi tanya jawab ini. Apalagi kalau bukan soal pool party yang dirinya datangi akhir pekan lalu. Gadis itu sudah menduga akan tiba saat di mana Ratih Sukma mengetahui aksi nekatnya. Tapi dia tidak menyangka semua akan terkuak hanya satu hari setelah orangtuanya itu kembali dari luar kota.
Entah mendapat asupan keberanian dari mana, Magda menegakkan padangnya tepat ke manik mata Ratih. Ada sesuatu yang harus disampaikan mengenai keresahannya selama ini. “Aku tahu Ibu sayang sama Magda. Tapi apa aku bisa minta tolong sama Ibu buat sekaliiii saja biarin Magda jadi remaja normal? Magda bisa jaga diri, Bu. Ibu bisa pegang omongan, Magda.... ”
“Nduk, justru supaya kamu jadi remaja normal, Ibu harus lakukan semua ini,” tukas Ratih.
Magda mendengkus kesal. Dia bisa menebak dalam hitungan tiga detik kalimat andalan Ibunya akan meluncur begitu mereka memulai bentuk konfrontasi.
Satu....
Dua....
Tiga....
“Ada harga yang harus kita bayar untuk dapat pengakuan dari keluarga Ayahmu, Nduk,” imbuh Ratih.
Magda menggepalkan kedua tangan begitu kencang. Sampai kukunya yang terpotong rapi terasa menusuk kulit. Gadis itu benar-benar sudah bosan mendengar alasan yang dikeluarkan oleh Ibunya. Pengakuan. Satu kata itu sudah teramat memuakkan untuk didengar. Terkadang, Magda bertanya dalam hatinya: siapa yang sebenarnya membutuhkan pengakuan?
“Bertahun-tahun Ibu menjaga kamu, merawat kamu, mengusahakan apapun yang terbaik buat kamu, biar Ayahmu dan keluarganya sadar sudah salah membuang kita berdua. Ibu sudah membuktikan bisa sukses tanpa sepeserpun uang dari mereka. Sekarang giliranmu, Nduk,” kata Ratih panjang lebar dengan mata berkaca-kaca.
KAMU SEDANG MEMBACA
INTRICATE
Teen Fiction[FOLLOW SEBELUM MEMBACA] Jangan lupa vote dan comment ya! Sekelompok remaja terseret kasus pembunuhan di sekolah Araminta International School. Siapa pelakunya? Highest Rank #1 in Crime Highest Rank #1 in Murder Highest Rank #1 in Teenagers Highest...