Tea baru saja menyelesaikan salat Subuh dan sedang melipat mukena saat telinganya mendengar bentakan Ibu pada Ayahnya. Suara mereka datang dari dalam kamar. Meski pintu sudah ditutup, kondisi rumah yang tua membuat suara tersebut dengan mudah sampai di kamar Tea yang letaknya bersebalahan.
Dulu, saat kondisi ekonomi keluarga belum selemah sekarang, orangtua Tea bisa dibilang jarang bertengkar sampai harus beradu argumen. Namun, setelah Ayah terserang stroke, selalu ada pemicu perdebatan.
Pagi ini menyoal penolakan Ayah jalani terapi rutin sehingga uang bisa digunakan untuk keperluan lain. Ibu jelas tak terima lantaran merasa kerja kerasnya tidak dihargai.
Jika ada di posisi Ibu, Tea bisa saja semarah itu melihat pria yang disayangi memilih berhenti berjuang. Namun saat menempatkan diri pada sudut pandang lain, kurang lebih Tea tahu kalau Ayahnya tidak sepenuhnya menyerah. Pria tersebut hanya menyediakan pilhan lain yang lebih realistis.
“Ayah mau sembuh, Ibu. Ayah, mau. Tapi sekarang keadaan lagi sulit. Ayah nggak mau kita membayar hutang dengan berhutang lagi. Kita pakai uang yang ada dulu,” terdengar Ayah merespons bentakan Ibu dengan tenang.
“Kalau Ayah mau sembuh, Ayah nurut sama Ibu. Kalau udah sembuh, Ayah mau kerja apa aja Ibu ikhlas yang penting halal. Kemarin Ayah ada ide buka les di rumah juga boleh. Tapi yang penting uang ini buat bayar terapi. Ibu nggak masalah lembur, Insha Allah ini bakti Ibu sama Ayah!”
Mata Tea berkaca-kaca mendengar apa yang dikatakan Ayah dan Ibunya. Keduanya sama-sama saling menyayangi namun harus berbeda pendapat disebabkan keadaan.
Tea mendesah. Dia membayangkan andai kemarin tidak mendapat penawaran dari Araminta International School, bisa jadi sekarang dirinya berhenti sekolah dan membuang jauh semua angan serta mimpi. Atau malah memasang muka tembok dengan memilih tetap bersekolah meski dibayang-bayangi tunggakan yang seharusnya tak perlu dia pikirkan.
“Te, udah selesai salatnya? Bantu ngupas bawang sama bikinin teh buat Ayah, ya. Ibu mau ke pasar dulu,” kata Ibu dari depan pintu. Wanita tersebut tak perlu bersusah payah membuka karena akan tetap terdengar jelas.
Tea bangkit dari posisi duduk, membuka pintu, lalu menyembulkan kepalanya. “Iya, Bu. Ada lagi?” tanyanya.
Sempat terlihat Ibu berdiri memunggunginya sambil menghapus air mata yang menetes. Sebelum kemudian wanita itu berbalik badan dan memasang senyum tegar yang sering dilihat Tea belakangan ini. “Itu aja dulu. Oiya, kamu mau dibawain bekal apa?”
“Aku lagi pengen telor asin, deh, Bu. Ada yang jual nggak ya?”
“Ayah juga pengin, Bu,” sahut Ayah dari kamar.
“Ya udah, nanti Ibu bikinin kalian nasi goreng telur asin. Ibu belanja dulu ya. Berdoa, biar telur asinnya ada.”
Sepeninggal Ibunya, Tea berjalan ke arah dapur untuk memasak air. Sambil menunggu air matang, ia mengupas bawang merah dan bawang putih. Membantu Ibu di dapur sudah menjadi kebiasaan rutinnya setiap akan berangkat sekolah. Semua ia jalani dengan santai sambil menyanyi lagu apa saja yang terlintas di kepala. Kadang jika tidak ada perintah dari Ibunya, Tea akan berinisiatif membantu yang bisa dibantu supaya pekerjaan rumah ibunya bisa cepat selesai sebelum bekerja.
KAMU SEDANG MEMBACA
INTRICATE
Teen Fiction[FOLLOW SEBELUM MEMBACA] Jangan lupa vote dan comment ya! Sekelompok remaja terseret kasus pembunuhan di sekolah Araminta International School. Siapa pelakunya? Highest Rank #1 in Crime Highest Rank #1 in Murder Highest Rank #1 in Teenagers Highest...