-Empat-

1K 216 7
                                    

"Lo namanya siapa sih?" Antony mencegatku ketika aku sedang berjalan sendirian.

"Gak penting nama gue siapa,"

"Penting, soalnya gue dendam sama lo!"

"Dendam kok bilang-bilang!"

"Ya biar lo waspada,"

"Hih, gak jelas lo!" Kulewati Antony, malas meladeni anak ini.

Ketika aku lanjut berjalan, ponsel di saku celana belakangku bergetar, kuraih ponsel tersebut, ternyata panggilan video dari Aaron.

"Kenapa?" Tanyaku sambil berjalan.

"Bete gue!" Serunya.

"Iya, kenapa?" Ulangku.

"Cewek yang gue incer, jadian sama orang lain,"

"Belom jodoh!"

"Ya tapi masa gue gak ada cewek di sini?"

"Hadeh, kayak mati aja idup lo kalo gak ada cewek," Ujarku kesal.

"Eh siapa tuh?"

"Hah?"

"Di belakang lo," Ucap Aaron.

Aku langsung berbalik dan syok, terlonjak kaget saat melihat Antony berdiri tepat di depanku.

"Gilak lu ya!" Teriakku.

"Heh cowoknya ni cewek! Bilangin ke cewek lo, jangan sok pinter!" Ucap Antony ke layar ponselku.

"Lo apa sih?!" Ku dorong Antony menjauh, asli sih, ini udah psycho jatohnya. Ngapain dia tiba-tiba di belakangku? Ngikutin? Ya ampun serem.

"Siapa itu La?" Tanya Aaron.

"Orang gila!" Seruku, kemudian kumatikan sambungan telepon ini, lalu berlari menjauh dari Antony, takut.

Dadaku berdetak kencang sekali ketika aku memasuki pekarangan asrama putri. Astaga, ngeri banget sama Antony, sumpah. Gak lagi-lagi deh jalan sendirian kaya tadi, takut.

Sampai kamar, aku masih ngos-ngosan akibat lari tadi.

"Baru kelar La?" Tanya Jingga.

"Iya, Ngga. Irene mana?" Aku balik bertanya, abisan di kamar cuma ada Jingga sama Olive.

"Pulang," Jawab Olive.

"Emang boleh?"

"Ya gak boleh, cuma dia sembunyi-sembunyi, Olive nih mau lapor, gue bilang jangan." Jelas Jingga.

"Kamu setuju lapor apa engga?" Tanya Olive. Aku diam.

Sebelum menjawab, kuletakkan dulu tas di atas meja belajarku, lalu duduk di kasur, mundur sedikit untuk bersandar.

"Emm, sorry Liv, tapi aku setuju sama Ingga. Toh dia gak ngerugiin kita kan? Aku tau itu salah, tapi dia temen kita, takutnya kalo laporan malah kita yang dimarahin gak bisa jaga temennya. Terus, jangan bikin masalah ah sama temen sekamar, gak enak kalau nanti selisih paham dan siapa tahu di kemudian hari kita butuh bantuannya Irene, kan?" Jawabku.

Jingga mengangguk, tapi Olive hanya diam saja.

Aku tahu sih, di antara roommate-ku ini, Olive yang paling straight, dia yang paling pinter juga kayaknya. Anaknya kalem, gak neko-neko, hobinya aja baca buku.

"Gak apa kan Liv, kita gak lapor?" Tanyaku.

Akhirnya Olive mengangguk. Aku dan Jingga langsung tersenyum.

Setelah obrolan singkat barusan, Jingga pamit mandi, sementara aku duduk-duduk dulu di kasur. Sesekali melirik Olive yang asik di meja belajarnya.

Sewindu MerinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang