-Tiga belas-

868 192 33
                                    

Perkuliahan semester genap dimulai. Spaneng banget sumpah, udah banyak mata kuliah dan makin menjurus, yang artinya... makin susah.

Tiap hari ada tugas baru, ampe bingung mau dikerjain yang mana dulu. Terus lagi, kamar asrama makin-makin kerasa sempit. Gak ngerti deh kenapa gitu.

"Nyuci La?" Tanya Jingga

"Eh engga deh, banyak tugas banget, bawa ke laundry paling deh." Kataku.

"Olive? Irene? Nyuci gak?"

"Aku udah cuci baju kemarin." Jawab Olive.

"Skip, gue banyak tugas, nanti bareng Ila aja ke laundry." Ujar Irene.

"Yaudah gue nyuci yaa! Bye!" Jingga keluar dari kamar, menyisakan aku yang duduk di kasur sambil baca, Olive di meja belajar lagi bikin tugas, dan Irene di lantai lagi bikin kado buat pacarnya.

Ketika sedang baca, aku merasa diamati, jadi aku menoleh, dan benar saja Olive sedang menatapku ketika mata kami beradu, ia menatap ke Irene.

"Kenapa Liv?" Tanyaku.

"Aku bingung cerita ke kalian gimana." Ujar Olive, membuat Irene mendongkak.

"Kenapa lu?" Tanya Irene.

"Aku... aku telat haid lagi, La, Ren." Ujar Olive dengan suara kecil.

"Hah? Gilak lu ya?!" Nada suara Irene langsung berubah.

"Sabar Ren, sabar!" Aku beranjak, duduk di pinggir kasur agar lebih dekat dengan Olive juga Irene.

"Ya gila aja lu! Baru tiga bulan kemaren gue sama Ila temenin lo aborsi, ini udah telat lagi!" Irene marah.

"Iya ih Liv, aku bukannya mau menghakimi yaa, ya maksudnya kalo kamu mau kaya gitu ya sok aja... tapi ya masa kebobolan lagi sih?"

"Aku... aku juga gak ngerti,"

"Gak ngerti apa? Kan lo gak mungkin tiba-tiba hamil, brengsek!" Seru Irene kesal.

Aku tersenyum pahit, kali ini aku setuju sama Irene.

"Kalian mau kan bantuin aku lagi?" Tanya Olive dengan nada memelas, bikin aku gak sanggup nolak.

"Lo gila sih Liv, lo tuh dipandangnya yang paling rajin tau gak! Paling pinter, paling baik! Eh ternyata lo busuk banget! Dua kali loh Liv! Masa lo mau bunuh anak lo dua kali?"

"Ya, maaf, aku... aku terpaksa Ren." Ujar Olive, kini dia menangis.

"Kasih tau gue cowoknya siapa! Biar gue tabok bolak-balik tu laki, brengsek banget!"

"Gak bisa, aku... aku gak bisa bilang."

"Oh kalo gitu gue gak mau bantu!" Seru Irene tegas.

Olive masih terisak, sementara aku gak tahu harus bereaksi gimana. Aku kasian sama Olive, tapi ya aku juga setuju sama Irene. Amat sangat gak bertanggungjawab kalo Olive sampe aborsi dua kali.

Masa dia gak belajar dari pengalaman sih?

"Yaudah kalo kamu gak mau bantu aku, gak apa, Ren." Ujar Olive dengan nada putus asa.

Aku melirik Irene, ia terlihat sangat jengkel. Lalu kulihat Olive, ia sudah kembali belajar.

Ya Tuhan, begini amat? Harus jadi penengah yang gimana ini aku?

Akhirnya aku memilih tetap diam. Bersandar kembali pada dinding, melanjutkan membaca. Sesekali kulirik Irene dan Olive, mereka berdua diam.

Gosh! Sampe kapan ini?

Sewindu MerinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang