Gina sudah kuliah di Belanda, dan aku sendirian di Bogor. Meskipun ada di kota ini, tapi aku tak melanjutkan kuliahku. Entah lah, aku terlalu pengecut untuk kembali ke kampus.
Jadi, kegiatan rutinku ya begini, Senin sampai Jumat ke Salon, Sabtu sampai Minggu pagi dengan siapapun yang sudah ada jadwal denganku, dan Minggu siang aku istirahat full.
Ya, dalam satu bulan aku hanya mengambil 4 orang klien saja dan menurutku itu sudah lebih dari cukup.
Saat ini aku sedang ada di rumah, ini hari minggu dan aku baru saja pulang dari apartemen Marshel. Ya, tadi malam fantasinya adalah bermain dengan ibunya. Jadi.... aku jadi emak-emak deh semalem.
Ponselku berbunyi, membuatku menghentikan proses menghapus cat kuku warna merah darah ini.
Pak Nussa calling....
Lha? Kenapa ya?
"Hallo? Selamat siang Mbak Ila?" Sapanya ramah dikejauhan sana.
"Iya Pak Nussa, siang. Ada apa ya? Ada masalah sama rumah?" Tanyaku. Pak Nussa dan keluarga adalah orang yang menyewa rumah peninggalan Ayah dan Bunda.
"Naah ini Mbak, ada yang dateng ke sini, terus bilang kalau ini rumahnya Mbak, dan saya sama keluarga saya mau diusir sama dia."
"Ehh? Siapa? Itu rumah punya saya kok, Pak." Kataku.
"Tadi bilang namanya Jati, Mbak, dia ada di depan pagar, gak mau pergi, anak saya sampe takut."
"Ya ampun Pak, yaudah, Pak Nussa sama keluarga di dalem aja dulu yaa, saya ke sana sekarang, tapi saya dari Bogor, Pak, jadi agak lama." Kataku.
"Iya, Mbak, maaf sekali ya mengganggu."
"Saya yang minta maaf, kenyamanan Bapak tinggal di sana terganggu."
"Baik, Mbak Ila, saya tunggu ya."
Begitu sambungan terputus, aku menarik napas panjang. Jatiiiiiii.... kenapa harus balik lagi sihhh??
Dengan kesal, kulempar kapas yang sedang kupegang ini. Gosh! Ini hari minggu, harusnya aku istirahat dan mengurus diri. Tapi gara-gara Jati, aku harus nyetir jauh ke Jakarta. Sial!
Aku mengemudi dengan kecepatan lumayan. Tapi ya hari minggu, jalanan lengang pas di tol doang, begitu keluar tol... macet lagi di mana-mana.
Sesampainya aku di depan rumah lamaku, aku melihat Jati yang langsung bereaksi, dan.. dia gak sendiri, ada dua orang bersamanya, tampang mereka sama, begajulan.
Jati berjalan mendekati mobil, membuatku keluar dan menghampirinya.
"Adik kesayangan gue... makin cantik aja lu!" Serunya ingin memelukku tapi aku mendorongnya.
"Mau apa lu, Bang?"
"Oh please... gak ada sambutan buat abang lo ini? Dua tahun loh La, kita gak ketemu!"
"Serius, lo mau apa? Dua tahun lo ilang, terus tiba-tiba balik ke sini tuh apa? Lo mau apa?"
"Gue cuma mau pulang, tinggal di rumah gue sendiri. Masa gak boleh?"
"Rumah lo? Rumah lo? Eh anjing! Gak ada ya satu jengkal pun hak lo di rumah ini!" Seruku marah.
Mendadak, aku teringat dua tahun lalu, ketika aku memeluk kakinya, menahannya untuk tidak pergi meninggalkan aku dan Gina.
"Wowww! Jangan marah gitu dong, sist! Ini kan rumah Ayah sama Bunda, gue kan anak mereka juga. Masa iya gue gak ada hak di rumah ini?"
"Lo gak inget? Lo bawa kabur uang Ayah sama Bunda 5 M lebih? Bikin gue harus pontang-panting cari duit buat sekolahnya Gina!"