"Padahal aku kira, kamu bakalan sama Aaron loh, karena dari awal pacaran sama kamu, aku ngerasa Aaron tuh ancaman terbesar."
"Aku gak akan pernah bisa sama Aaron." Kataku.
"Kenapa?"
"Eh? Emang Irene gak cerita?"
"Hah? Engga, Irene cuma cerita si Febri itu aja, gak ada bawa-bawa nama Aaron. Emang Aaron kenapa?" Tanya Antony.
"We're basically a twins." Kataku.
"What?" Antony syok mendengar itu.
Setelah cerita soal Febri, kini aku menceritakan soal Aaron, hubungan asliku dengan Tante Hilda dan Om Fauzi. Karena Antony akan menjadi bagian dari hidupku, jadi kuceritakan semua, sampai akhirnya gimana kami ketemu di salah satu resto ketika aku sedang bersama Om Fauzi.
"Mereka sampe cerai, La? Padahal kayaknya mereka saling sayang gitu jadi suami-istri," Tanya Antony.
"Aku juga sedih pas Aaron bilang Mama-Papanya bercerai. Tapi gimana ya? Gak ada yang bisa disalahin dan gak ada yang bisa dibenerin. Tente Hilda udah minta maaf, kata Aaron bahkan sampe sujud-sujud gitu tapi Om Fauzi gak maafin. Cinta mereka kalah sama ego dan emosi. Lalu, Om Fauzi juga berubah, saking penginnya aku ganti nama, ganti kartu keluarga dan lain sebagainya, Om Fauzi malah jelek-jelekin Ayah dan Bunda, Tante Hilda gak terima sahabatnya dibegituin, apalagi Ayah sama Bunda udah gak ada kan ya? Sampe akhirnya Tante Hilda udah gak kuat lagi, dan mereka pun memilih cerai." Jelasku.
"Terus Aaron gimana?"
"Aaron begitu lulus kuliah pindah ke Kanada, dia cari kerja di sana dan mulai hidup baru. Tadinya dia ajak aku, tapi... aku gak bisa."
Antony mengangguk.
"Jadi selama ini emang si Febri yang temenin kamu?" Tanyanya.
Aku mengangguk.
"Tapi dia gak sepenuhnya temenin kamu yang tulus gitu kan?"
"Dia emang rada aneh, tapi itu gak sering kok. Kita lebih sering yang duduk-duduk ngobrolin bisnis, ngobrolin orang. Bahkan kita pernah, liburan berdua ke Turki dan itu gak ngapa-ngapain sama sekali, cuma yang beneran liburan karena capek kerja." Jelasku.
Antony tersenyum sinis.
"Setelah kamu cerita ini semua... kamu masih minta aku buat ketemu dia?" Tanya Antony.
"As a friend, Ton. Sumpah, aku sama Febri sekarang ya emang cuma temenan. Dia temen yang baik dan aku banyak hutang budi sama dia."
Kudengar Antony menggretakan giginya. Lalu aku mendekat, menepuk punggungnya.
"Yaudah, kalau kamu gak bisa pun gak apa, tapi aku tetep temenan sama dia, kalau kamu gak bisa nerima, yaudah, aku gak akan maksa."
Antony menatapku tajam, matanya terlihat lelah.
"Aku pengin kamu ninggalin kehidupan kamu yang itu, La."
Aku menelan ludah.
"Kamu tahu? Aku udah pengin tinggalin itu dari bertahun-tahun lalu. Tapi... baru bisa ya akhir-akhir ini. Dan aku gak ada niat balik lagi. Tapi Febri, dia temen aku,"
"Aku gak tahu obrolan ini bakal berakhir gimana, La. Karena kamu bakal selalu belain dia ya kayaknya?"
Aku diam, tak menyahuti ucapan Antony karena enggan berdebat lebih jauh dengannya.
Kemudian, terdengar seruan informasi kalau cuaca sudah membaik dan pesawat kami sudah siap, kami diminta masuk melalui gerbang utara. Antony langsung sigap berdiri, ia menggengam tanganku dan kami pun berjalan menuju pintu yang disebutkan tadi.