-Tiga puluh tujuh-

923 200 17
                                    

"Dek, kita harus tetep berdua, okay!"

"Maksudnya?"

"Udah gitu lah pokoknya, terus kayaknya kita harus jual rumah ini, Om Fauzi gila dek! Dia mau ambil gue, dia mau ganti nama gue, pindahin gue ke kartu keluarganya, gila!"

"Hah? Itu yang bikin Papa Fauzi sama Mama Hilda berantem kemarin?" Tanya Gina.

Aku mengangguk.

Kemarin terjadi keributan besar di rumah ini antara Tante Hilda dan Om Fauzi. Aku dan Aaron pun bahkan gak bisa menjadi penengah mereka berdua.

"Katanya... mereka mau biayain lo kalau gue masuk ke keluarga mereka. Tapi gue rasa, itu cuma akal-akalannya Om Fauzi aja. Gue percaya sama Mama, tapi Om Fauzi berubah dek. Dan bukan kewajiban mereka kok ngurusin kita. Gue bisa ngurus lo!"

"Terus kita ke mana?"

Untuk ini, aku sudah punya solusi, tapi aku masih belum yakin. Karena... aku akan sangat berhutang budi pada Febri dan aku gak mau itu.

"Kak? Kita kemana?"

"Lo inget Febri? Temen gue itu?"

Gina mengangguk.

"Dia nawarin kita buat tinggal di rumahnya, deket dek dari sekolah lo, kalau gak ada yang tahu kita tinggal di mana, itu aman, karena lo juga gak akan sembarangan bisa dicari kan? Gak sembarang kan orang yang bisa masuk sekolah lo?"

"Iya Kak!"

"Yaudah, kita pindahan aja, mumpung Om Fauzi sama Mama Hilda lagi sibuk, kita pergi diem-diem."

"Terus Kak Aaron?"

"Aaron urusan gue." Kataku. Gina mengangguk dan ia pun masuk ke kamarnya.

Kuambil ponselku, menghubungi Febri, panggilanku langsung diangkat olehnya.

"Hallo!" Serunya di kejauhan sana.

"Hay Feb, maaf kalo ganggu."

"Gak kok, kenapa? Udah ngobrol sama adek kamu?" Tanyanya.

"Udah, dia setuju."

"Oke, aku suruh orangku beberes rumah itu ya, maaf kalau kecil, itu rumah pertama yang kubeli soalnya. Mungkin udah agak kusem juga, gak pernah ditinggali."

"Itu lebih dari cukup Feb, makasi banget ya!"

"Anytime, La! Kamu bisa langsung dateng, nanti malem aku mampir ya? Boleh?"

"Boleh banget! Yaudah, aku mau beberes nih,"

"Oke, aku juga mau rapat, byee La!"

Panggilan berakhir, aku mulai menurunkan koper dari atas lemari, memasukan baju-bajuku ke dalamnya. Untungnya, barang-barangku memang sudah banyak yang ter-packing, bekas kuambil dari kostan soalnya.

Pukul 3 sore, aku dan Gina keluar dari rumah, menyetir mobil ke alamat yang sudah diberikan Febri.

"Kak, kayaknya rumah jangan dijual, kita dari kecil di situ."

"Dek, biaya perawatan rumah itu gak murah, lo tahu buat listrik aja gue harus keluar uang berapa."

"Yaudah, sewain aja, kita dapet duit dari sewa rumah, dan rumahnya dirawat sama orang kan?"

"Emm boleh tuh," Kataku sambil mengangguk.

Melihat peta dari HP, sedikit lagi kami sampai, emang sih ini udah masuk ke perumahan juga, tinggal cari rumahnya aja.

"Itu bukan Kak? Itu nomor E14!" Seru Gina.

"Ahh iya betul!"

Aku langsung memarkirkan mobil, gak persis di depan rumah karena sudah ada yang parkir lebih dulu.

Sewindu MerinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang