-Dua puluh enam-

935 212 31
                                    

Ketika aku terbangun, aku mendengar suara orang yang sedang mengaji. Kasur tempatku tidur kosong, hanya ada aku di kamar ini.

Menarik napas panjang, aku turun dari kasur, berjalan menuju pintu, keluar.

Di luar ramai sekali, tapi aku bisa melihat Gina dan Bang Jati, sedang terisak di antara banyak orang yang ada di luar.

Aku kembali ke kasur, duduk, dan menenangkan diri.

Tuhan. Aku gak pernah menyangka harus kehilangan kedua orangtuaku di saat yang bersamaan. Seolah kehilangan satu tidak cukup menyakitkan sehingga aku dibuat kehilangan keduanya sekaligus.

Air mataku turun lagi, aku kembali terisak lagi. Kuambil satu bantal untuk meredam jeritanku agar tidak didengar orang di luar.

Gakkkkk!

Gak boleh!

Bunda sama Ayah gak boleh pergi secepet ini!

Aku belum bisa bahagiain keduanya. Mereka belum liat Bang Jati wisuda, belum liat aku wisuda, Gina bahkan belum lulus SMA!

Gak!

Gak bisa kaya gini!

Aku menoleh, pintu kamar terbuka, Gina dan Bang Jati masuk, mereka langsung menghampiriku.

"Gak bener kan? Ini semua mimpi kan?"

"Dek, lo harus kuat!" Ucap Bang Jati.

"Ayah sama Bunda mana?"

"Tadi pagi udah dimakamin, lo pingsan dek. Yang kuat ya!"

Aku melotot mendengar itu. Apa maksudnya? Jadi aku gak liat wajah Ayah dan Bunda untuk yang terakhir kalinya??

"Lo pingsan tiga kali, semalem, tadi pagi pas kita mau ke makam, sama tadi siang pas kita balik dari makam." Jelas Bang Jati, aku bahkan tidak ingat apa-apa. Ingatan terakhirku ya semalam.

"Udah, lo sama Gina yang tenang yaa. Kalian cewek-cewek kuat! Ayah sama Bunda udah tenang." Ucap Bang Jati.

Aku memeluk Gina, kali ini berusaha menahan  diri agar tidak menangis. Kami duduk di kasur dan Bang Jati menyuruh kami untuk tidur.

Kusuruh Gina di pojok, sementara aku di tengah, Bang Jati tapi belum tiduran, dia hanya duduk di ujung kasur.

Tanganku menggengam tangan Gina dan Bang Jati, hanya mereka sekarang yang aku punya.

"Sabar Dek, harus ikhlas, biar Ayah sama Bunda tenang." Ujar Bang Jati, aku mengangguk, tapi sialnya air mataku menetes kembali.

Bang Jati mengusap air mataku.

"Kaya Gina tuh, tenang. Lo harus tenang dek."

Aku mengangguk lagi, dan kali ini aku menangis sekencang yang aku bisa, sudah tidak bisa menahan semua kesedihan yang kurasakan sekaligus ini.

Bang Jati menarikku, lalu memelukku erat.

"Terus gue sama Gina gimana Bang? Ayah sama Bunda gak ada, kita gimana Bang?" Jeritku sambil terisak.

"Lo kuat, Gina juga kuat. Adek gue kan kuat-kuat, oke La?"

Aku menggeleng, aku gak mau sok kuat. Aku lemah. Aku gak sanggup hadepin ini semua.

****

Hari ke tujuh setelah kepergian Bunda dan Ayah, kami masih di Purwakarta. Tidur bertiga dalam satu kamar.

Tengah malam, aku terbangun, ingin ke kamar mandi, seperti biasa. Ku langkahi Bang Jati lalu turun dari kasur, keluar kamar menuju kamar mandi.

Setelah selesai, aku kembali ke kamar, kembali ke tempatku semula. Memeluk Bang Jati.

Sewindu MerinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang