-Empat puluh enam-

847 174 44
                                    

Aku hanya bisa mengurut kepalaku ketika panggilan dari Pak Nussa dimatikan.

Gosh! Kapan sih, hidupku ini bisa tenang sebentar aja?

Mencoba menenangkan diri beberapa saat, aku akhirnya membuka ponsel, menghubungi Galant, salah satu temannya Febri yang mungkin bisa membantuku.

"Hayyyy! Gamyla... akhirnya lo hubungi gue lagi." Serunya menjawab panggilanku.

"Gue mau minta tolong," Kataku.

"Apa? Sebutin, pasti bisa gue bantu."

"Rumah gue yang gue sewain ke orang dibakar sama abang gue, nah, masalahnya rumah tetangga kiri-kanan sama belakang juga kena, mereka minta ganti rugi. Bisa gak sih kaya dimanipulasi supaya itu jadi kaya kecelakaan jadi gue gak perlu ganti rugi? Kalau ganti rugi ke orang yang sewa rumah gue, gue mau. Tapi kalau udah ke tetangga, gue gak sanggup, Lant."

"Ada CCTV di daerah sana?"

"Ada sih pasti tiap rumah ada CCTV-nya dan di tiang-tiang lampu komplek gue kalo gak salah ada CCTV."

"Agak ribet kayaknya tuh kasus, soalnya itu bisa jadi bukti kalau kebakarannya disengaja oleh orang, bukan murni kecelakaan."

"Makanya gue telepon elo, Lant. Koneksi lo kan banyak, lo juga ngerti soal hukum-hukum begitu." Kataku memelas.

"Emang tetangga lo minta ganti rugi berapa?" Tanya Galant.

"Eeem, masing-masing 3 M." Kataku dengan suara sedikit tercekat.

"Waduh, gede juga yaa. Yaudah kirim alamat rumah lo, biar gue cek deh yaa?"

"Thanks ya Lant."

"Gak gratis ya La?"

Aku menelan ludah mendengar itu.

"Okee, gue ngerti kok!" Kataku lalu menutup sambungan telepon ini.

Setelah menelepon Galant, kukirim alamat rumah seperti yang ia minta biar bisa langsung diproses.

Lalu kuambil kunci mobil, segera menuju rumah sakit tempat anaknya Pak Nussa dibawa. Ia menderita luka bakar akibat ulah Jati sinting!

Sepanjang jalan, aku gak tenang. Pikiranku ya ke uang ganti rugi yang diminta tetangga-tetanggaku itu. Gosh? Duit dari mana 9 M? Tabunganku aja abis mulu buat sekolahnya Gina, lha ini lagi?

Begitu mobilku terparkir, aku segera menuju IGD dan langsung melihat Pak Nussa di sekitaran situ.

"Pak Nussa, saya minta maaf sekali, Pak. Gimana Nadia?" Tanyaku.

"Masih dirawat luka-lukanya, Mbak. Dia lagi sendiri di rumah, makanya bisa sampe cidera."

"Mohon maaf sekali ya Pak."

Pak Nussa mengangguk, wajahnya pucat, begitu juga dengan istri dan anaknya yang lain.

Tadi pak Nussa bilang, kalau satu mobilnya dan dua motor milik anaknya ikut terbakar, bahkan meledak saat kebakaran terjadi. Dan, kondisi Nadia pun saat ini parah.

Aku menemani keluarga Pak Nussa sampai Nadia masuk ke ruang rawat. Lalu, saat seorang suster meminta Pak Nussa untuk mengurus administrasi, aku dan Bu Maya lah yang mengambil alih urusan ini.

Bu Maya melengkapi data-data Nadia, sementara aku yang bagian bayar.

"Maaf ya Bu," Kataku.

"Iya Mbak Ila, saya cuma gak percaya aja, kakaknya Mbak Ila tega seperti itu."

Aku mengangguk pelan.

Aku salah, harusnya saat Jati mengancam akan bakar rumah, aku memperingatkan Pak Nussa dan keluarganya. Tapi, aku malah diam saja. Dan beginilah akibatnya. Jati gak main-main ternyata.

Sewindu MerinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang