Here you go, double up~
Jangan emosi sama chapter ini yaw~
***
Bukan aku yang emosi, tapi Febri. Ia berjalan mendekati temannya itu lalu sebuah tinju mendarat di wajah Galant.
"Lo bilang ke dia, lo bakal urusin itu!"
"Ya udah, tapi gak bisa, tetangganya punya bukti!"
"Sinting lo ya! Lo bilang ke gue rekaman CCTV itu udah lo hapus! Kenapa bisa ada lagi?" Bentak Febri.
"Ya gak tahu!" Jawab Galant santai.
"Udah, ayok La!" Febri berbalik dan ia membawaku keluar.
Sudah diputuskan, Jati bersalah dalam kasus ini karena ia tertangkap kamera menyiram bensin ke sekitaran rumah dan mobil milik pak Nussa, lalu membakarnya.
Saat ini, statusnya Jati itu buronan. Tapi aku selaku orang yang bertanggungjawab karena menyewakan rumah pada Pak Nussa, harus menanggung semua kerugian yang diminta Pak Nussa dan para tetangga yang menjadi korban.
Pak Nussa tidak memberatkanku. Ia memang hanya meminta biaya perawatan untuk anaknya dan ganti rugi mobil yang dibakar. Pak Nussa bahkan tidak meminta ganti rugi motor ataupun beberapa barang berharganya yang ada di rumah.
Namun tetanggaku... mereka menaikan tuntutannya sebanyak 5 Miliyar, dan permintaan itu dikabulkan.
Udah, aku udah gak bisa apa-apa lagi.
Aku hanya bisa menangis ketika Febri mengajakku masuk ke dalam mobil.
"Kamu tenang yaaa, gak apa-apa nangis, wajar." Ucap Febri.
"15 Miliyar Feb, uang dari mana aku? Belum buat Pak Nussa?" Isakku, dan jangan lupakan kebutuhanku sehari-hari dan jatah bulanan Gina di Belanda sana.
"Aku pinjemin kamu uang, kamu bisa kok bayar ke aku nyicil. Nanti pas bayar ke tetangga kita harus didampingi Pak Frans, biar mereka gak bisa nuntut apa-apa lagi."
Pak Frans adalah pengacara pribadi Febri. Sayangnya, beliau sedang sibuk hingga tidak bisa ikut menangani kasusku.
"Gosh, 15 M, Feb! Nyicil berapa tahun aku?"
Ya, penghasilanku dalam hal roleplayer gak sebanyak dulu lagi. Sekarang, ada yang mau bayar 100 juta aja udah gede banget itu itungannya.
"Udah kamu gak usah pikirin itu ya? Biar urusan kamu sama aku aja, jadi kamu gak ada masalah ke orang banyak. Jadi beban pikiran kamu pun berkurang."
Aku mengangguk.
"Sampai, Pak!" Supir Febri, Pak Jamil, memberitahukan kami kalau sudah sampai apartment Febri.
"Yuk!"
Tangan Febri tak lepas merangkul bahuku, ia memegangiku terus, agar aku gak tiba-tiba ambruk.
Di unit apartment Febri, aku terduduk di sofa, lemas. Kulihat Febri mendekatiku dengan segelas air putih di tangannya.
Gosh! Dia nih udah baik banget? Kenapa sih??? Kenapa aku gak bisa suka sama dia aja???
Ketika Febri duduk di sebelahku, ia mengulurkan gelas tersebut, kuterima tapi langsung aku letakkan di meja.
Febri melihatku heran, tapi aku langsung menyerangnya, mencium Febri dengan penuh napsu agar aku bisa menyukainya. Dan hati ini terbuka untuk menerimanya.
Febri membalas ciumanku, ia langsung menggendong tubuhku dan membawaku ke kamar.
Di dalam kamar, aku langsung melucuti semua pakaian yang ada di tubuhku dan tubuh Febri, kudorong Febri ke kasur lalu aku menaiki tubuhnya.