Sebuah e-mail masuk membuatku langsung menghentikan semua aktivitasku, aku syok... ada e-mail dari kampus. Aku harus registrasi ulang karena masa cutiku sudah berakhir.
Ya ampun, aku gak siap balik ke kampus, aku gak tahu mau PKL di mana, mau penelitian apa, aku gak tahu. Bahkan, aku udah lupa semua materi kuliah kayaknya.
Goblok banget Gamyla!
"Saudari Gamyla!" Terdengar namaku dipanggil dan aku langsung menutup e-mail tersebut, berjalan menuju sumber suara yang memanggilku.
"Silahkan, Mbak, dokternya sudah menunggu."
Aku mengangguk, lalu masuk ke ruang praktek dokter tersebut. Dengan senyuman lebar, dokter bernama Marni ini menyambutku hangat.
"Iya, gimana nih Mbak Gamyla? Ada yang bisa saya bantu?" Tanya bu dokter ini ramah.
"Ini dok, saya mau konsultasi, saya mau vaksin HPV," Kataku.
"Oh, iya bagus banget itu, Mbak."
Lalu, dokternya bertanya seputar riwayat kesehatanku, pernah ada keluhan atau apa, lalu beliau juga mempertanyakan aktivitas seksualku.
"Nah iya dok, saya pasang KB dok, jadi aman kan harusnya?"
"KB kan mencegah kehamilan Mbak, bukan memproteksi dari Penyakit Menular Seksual yang -amit-amit- diderita oleh pasangan Mbak Gamyla."
Aku diam. Selama ini, aku mikir cuma biar gak hamil aja. Ternyata itu juga penting... gosh, gimana kalau aku kena PMS?
"Jadi baiknya saya gimana? Cek kesehatan dulu aja kali ya? Abis itu baru pap smear buat suntik HPV? Atau gimana dok?"
Dokternya menjelaskan dengan baik, aku bersyukur dokter Marni ini gak menghakimi aku, malah ia banyak menasehati agar aku bisa main seaman mungkin, biar semua organ-organku sehat, walaupun harus kerja rodi.
Kuikuti semua saran dokter Marni, lalu setelah selesai, aku pamit.
Di jalan pulang, aku ngeri sendiri. Jujur, aku tuh takut banget kena kanker serviks, karena yang kuketahui, itulah penyakit yang paling banyak membunquh wanita.
Dan sekarang, aku jadi makin takut terjangkit penyakit mengerikan lainnya.
Begitu sampai rumah, kudiamkan Gina yang bertanya aku dari mana, aku langsung masuk ke kamar. Pikiranku sangat berat hari ini. Aku diselimuti rasa takut.
Tuhan? Apakah aku bisa berhenti dari semua ini?
Aku cuma bisa bengong, bahkan sambil ganti baju pun pikiranku hanya terisi berbagai penyakit mengerikan yang mematikan.
"Kak? Kak Febri dateng nih!" Terdengar seruan dari luar. Dan detik berikutnya kudengar pintu kamarku diketuk pelan lalu terbuka dan Febri masuk.
"Hay!" Sapanya, aku menoleh, tersenyum padanya.
"Hay Feb," Sahutku pelan.
Febri lalu duduk di pinggir kasur, di sampingku. Ia melirikku dengan penuh minat, seperti tahu kalau aku banyak pikiran.
"Kamu kenapa?"
"Aku pengin berhenti, Feb." Kataku.
"Berenti? Berenti apa?" Tanyanya.
"Aku... aku takut kena penyakit. Aku tadi abis dari dokter, konsultasi dan dokternya jelasin semua resiko yang akan aku hadapi kalau aku gini terus."
"Yakan bukannya tinggal pakai kondom ya? Selesai?"
Aku menoleh tak percaya pada Febri.
"Banyak kok yang bikin syarat harus pakai kondom, atau ada yang gak mau anal, atau gak mau oral seks. Dan santai aja La." Ucap Febri pelan.