Rasanya baru kemarin aku melihat adik kelasku memakai seragam putih-biru. Rasanya juga baru kemarin aku menginjakkan kaki di kelas dua belas. Tapi rupanya, sekarang adalah hari penerimaan rapor semester lima.
Ayah yang tengah libur memilih bersantai di ruang keluarga sembari menikmati kopi hitam buatan Ibu dan membaca koran. Ibu yang telah selesai dengan pekerjaan dapurnya memilih menonton TV di sampingku. Sementara Zulfi sudah berangkat sekolah.
"Ambil rapor jam berapa Nai?" Ayah bersuara setelah sekian menit fokus pada korannya.
"Jam sembilanan, Yah."
"Sanah mandi." Lalu aku melirik jam dinding.
"Baru jam setengah delapan Yah."
"Kenapa emang? Dingin? Toh ada water heater." Aku berjalan gontai menuju kamar. Meraih handuk malas-malasan, semuanya serba malas.
Usai mandi aku kembali ke ruang keluarga. Sesaat aku terpaku, i stop in the last stairs.
Ibu tengah duduk di pangkuan Ayah, menatap lekat bola mata Ayah yang coklat. Ayah membalas tatapan mata Ibu yang juga coklat.
Cup
Ayah mengecup kening Ibu, membuat Ibuku tertunduk malu.
'Sudah bertahun-tahun menikah masih aja malu. Ibu...Ibu. Jadi ini alasan Ayah menyuruhku segera mandi? Eh tapi ini bagaimana ya? Tetap ke sana atau balik ke kamar?'
"Eh Nai." Ucap Ayah yang sedikit gugup membuatku tersentak.
Ibu segera beranjak dari pangkuan Ayah.
"Eh i-iya." Jawabanku terdengar kikuk. Perlahan aku mendekat.
"Cepet banget mandinya," ucap Ibu.
"Oh masih kurang? Ya udah deh Nai balik lagi." Jawabku sambil melirik Ayah.
"Eh kurang? Kurang apanya?" Tanya Ayah dengan pipi yang sedikit memerah.Andai ada banyak laki-laki seperti Ayah, dan andai pula jika aku bisa memiliki salah satunya.
Aku kembali berbaring di posisi awal.
"Kamu mau ambil jurusan apa Nai?" tanya Ayah beberapa menit kemudian.
"Agroteknologi."
"Pertanian? Janganlah,"protes Ibu.
"Loh kenapa?"
"Nanti kerjanya panasan."
"Ya ampun Bu, ngga melulu ko."
"Pokoknya engga. Kenapa ngga ambil kesehatan aja, IPA-mu dimanfaatkan."
"Perawat? Kan Ibu tahu, Nai takut jarum, ngga kuat liat darah. Lagi pula kalo bukan perawat juga Nai tetep ngga mau ambil kesehatan karena pasti berbau kimia. Nai ngga suka." Walaupun sebenarnya aku tertarik untuk menjadi perawat, tapi aku sadar bahwa aku tidak punya bakat.
"Ya udah lah Bu, terserah Naira mau ambil apa. Tapi Nai, kamu juga harus tetep dengerin Ibumu. Ibumu ngga ridho kamu di pertanian, dan Allah juga mungkin ngga ridho. Jadi kamu pikirin lagi ya jurusannya." Ucap Ayah sebagai penengah.
"Hem." Jawabku singkat yang kemudian tak mendapat respon dari mereka.
Mereka kira memilih jurusan itu mudah, seperti memilih sayur di warung. Padahal banyak yang harus dipertimbangkan. Minat, bakat, dan prospek kerja. Akreditasi jurusan pada universitas yang dipilih juga menjadi pertimbangan, sementara Indonesia punya banyak universitas. Mereka membuatku harus memutar otak, memilih mana yang benar-benar sesuai dengan aku. Mungkin juga dengan ingin mereka.

KAMU SEDANG MEMBACA
Wonders || END
Teen FictionZunaira, anak dari seorang perawat, tapi berusaha menjauhi jurusan berbau kesehatan. Suatu kegiatan membuatnya jatuh hati pada sosok perawat.Keterpikatan yang muncul sejak jumpa pertama,dalam perkenalan yang sepihak. Lantas terpisahkan oleh ruang...