Akhir-akhir ini yang kulihat pertama kali saat masuk kelas adalah teman-temanku yang sedang belajar karena Senin besok kami Ujian Sekolah. Mereka seperti sudah sangat siap, sedangkan aku masih belum sepenuhnya siap.
'But for this time you have to win from your laziness,Nai! Ingat kata Ayah, sebelum kamu mengalahkan orang lain, kamu harus lebih dulu mengalahkan rasa malasmu.' Batinku yang berusaha membangkitkan semangat dalam diriku.
"Da, nanti temenin ke ruang BK ya..."
"Ngapain?"
"Pinjem buku kedinasan."
"Emang ada?"
"Kan waktu itu Bu Reta sendiri yang nawarin."
"Oh. Sekarang?"
"Boleh."
Kami pun menuju ruang BK yang jaraknya sekitar dua menit jalan kaki.
"Assalamualaikum." Aku membuka pintu ruang BK.
"Waalaikumsalam. Gimana Mba?"
"Mau pinjam buku kedinasan."
"Oh itu di sana. Tulis nama sama kelas di papan tulis ya Mba." Bu Reta menunjuk tempat yang dimaksud.
Aku merasa sekarang semangatku tengah melonjak. Akan aku manfaatkan kondisi ini untuk mengejar ketertinggalan. Being late to start does not necessarily lose the opportunity to be win, right?
Sekembalinya kami dari ruang BK, Bu Wina masuk kelas.
"Seperti yang kalian tahu, Senin besok kalian Ujian Sekolah. Persiapkan diri dengan baik, jangan lupa buat sarapan sebelum berangkat, jangan telat, dan kartu harus selalu dibawa. Silakan kalian maju urut absen untuk mengambil kartunya,"ucapnya setelah salam.
Beliau meletakkan kartu ujian di meja. Lantas absen satu mengambil kartu, disusul absen dua. Demikian hingga absen tiga puluh enam.
Setelah memastikan semua siswa mendapatkan kartu, beliau meninggalkan kelas."Kamu udah belajar Da?" Tanya Rizky yang hari ini duduk tepat di hadapanku.
Rida hanya menggeleng.
"Belajar! Nentuin kelulusan ini!"
"Emangnya kamu udah belajar?"
"Hehe, belum." Ucapnya sambil nyengir kuda.
"Kamu aja belum belajar nyuruh orang buat belajar. Tanya Naira tuh, udah ngebut."
Dia menoleh ke arahku, dengan tatapan yang tak aku suka. Tapi entah kenapa tiba-tba aku tertawa sendiri.
"Ketawa koh, kaya ada yang lucu,"katanya.
"Jangan salah tingkah dong Ra."
"Engga ko."Aku berusaha menahan tawa.
"Engga tapi pipinya merah." Kemudian dia tertawa, pun Rizky.
***
Dalam perjalanan pulang sekolah, aku mampir ke tempat fotokopi;mengkopi buku yang baru saja aku pinjam. Begitu sampai di rumah, aku segera bersih-bersih. Istirahat sebentar sambil menunggu Magrib. Yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Azan Magrib telah berkumandang.
"Mba Nai!" teriak Zulfi agar aku lekas turun untuk menunaikan Salat Magrib.
Ayah merapalkan doa yang panjang sekali, kami mengaminkan. Kemudian Ayah diam,lumayan lama, mungkin kembali merapalkan doa. Aku pun kembali merapalkan doa.
'Ya Rabb, Engkau yang Maha segalanya. Maha Mengetahui,Mahapandai, Mahakuasa. Tiada yang mudah melainkan Engkau mudahkan. Tiada yang ringan melainkan Engkau ringankan. Tolong Ya Rabb, beri aku kemampuan, kepandaian, dan kemudahan untuk semua urusan-urusanku;dunia dan akhirat, dan cita-citaku salah satunya. Aamiin.' Aku megusapkan kedua telapak tanganku ke wajahku.
"Aamiin," suara Ayah, Ibu, dan Zulfi terdengar hampir bersamaan. Begitu aku menatap sekitar, rupanya mereka tengah memperhatikanku.
"Doa apa Nai? Khusuk banget?" tanya Ibu.
"Eh, doa... Em, doa apa yah?" jawabku kikuk.
"Entah apapun itu, semoga Allah ijabah ya. Kamu harus yakin bahwa cepat atau lambat, doamu akan Allah jawab. Sebab Allah Maha Mengijabah doa," ucap Ayah.
Perkataan Ayah yang satu ini selalu mampu mengembalikan keyakinanku, yang terkadang surut sebab doaku tak kunjung Allah jawab. Tapi rupanya, ketika apa yang aku pinta tak aku dapatkan bukan berarti Allah tak menjawab doaku, melainkan Allah ganti dengan yang lebih baik atau Allah beri di akhirat.
Seperti biasa usai Salat Magrib kami mengaji, lantas Ayah mengkaji terjemahnya. Allhamdulillah kami baru saja khatam, saat ini masih di juz satu lembar ke tiga.
"Naira, coba ulangi lagi ayat ke empat puluh lima," perintah Ayah.
"Wasta'inuu bishshobri washsholah. Wa innahaa lakabiiratun illaa 'alal khosyi'iin."
"Artinya?"
"Dan mohonlah pertolongan kepada Allah dengan sabar dan shalat. Dan shalat itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk."
"Itu artinya, ketika kita ada apa-apa kita harus minta pertolongan ke Allah. Dengan apa? Dengan sabar dan shalat. Kalau kita udah berusaha, udah shalat, berarti tinggal... tinggal apa Zulfi?" Ayah melirik ke arah Zulfi yang terlihat sudah mengantuk.
"Eh, em.. tinggal sabar."
Kami tertawa kecil melihat Zulfi yang terkejut.
"Ya, tinggal kita sabar menunggu jawaban Allah. Tapi terkadang kita ngga sabar, maunya cepet-cepet dikabulin, padahal ketika azan sudah berkumandang pun kita tidak cepat-cepat untuk shalat. Iya ngga?"
"Astaghfirullah...." aku, Ibu dan Zulfi beristigfar, teringat sering menunda untuk salat.
"Padahal ayat yang bunyi artinya Allah bersama orang yang sabar dan menyukai orang yang sabar selalu diulang-ulang. Tapi kenapa kita masih susah buat sabar? Karena kita kurang sadar. Kurang menyadari dan kurang mendalami ayat tersebut. Padahal, kalau Allah sudah menyukai hamba-Nya, urusan hamba-Nya bakal lempeng. Mulus, sebab Allah mudahkan. Ada kesulitan Allah tolong. Mau?"
"Mau..." jawabku dan Zulfi.
"Kalau mau, berarti perbanyak sabarnya."
"Ayo wudhu lagi, terutama Zulfi tuh, yang tadi udah terkantuk-kantuk," ajak Ayah begitu azan Isya berkumandang.
Aku pun ikut wudhu, walaupun menurutku aku belum batal, tapi aku sedikit ragu, dan perasaan seperti itu tidak boleh. Ketika kita ragu, apakah kita belum batal atau sudah, maka wajib untuk berwudhu lagi.
"Yah, Bu, Nai ke kamar dulu ya," ucapku usai melipat mukena.
Setelah mereka mengangguk, aku segera beranjak. Membuka buku fotokopi tadi untuk ku pelajari. Tapi malang, lembar pertama aku buka, wajah Mas Akbil terpampang demikian jelas. Aku berusaha mengarsipkan Mas Akbil dari pikiranku, walaupun sangat susah. Seperti menghilangkan bayangan sendiri dalam terang benderang.
'Ah bayangan sendiri,' aku tersenyum tipis. Mengolok diri sendiri.
22.45
Ceklek
"Tumben Nai, belum tidur," ucap Ayah sembari menutup pintu kembali.
"Belum bisa tidur. Ayah sendiri ko belum tidur?"
"Ingin memastikan kamu sudah tidur nyenyak."Ucapnya sambil berbaring di sampingku.
Aku menginginkan kehadiran seorang laki-laki, sementara di sini ada laki-laki yang selalu hadir walau tanpa dipinta.
"Habis belajar?" beliau melihat tumpukan buku di atas nakas.
"Heeh."Aku menghela napas panjang.
"Cape ya?" Beliau membelai rambutku, seakan mengerti arti dari helaan napasku. Aku mengangguk.
"Besok kalau cari suami, carinya yang paham bahasa isyarat ya."
"Kenapa emang?" tanyaku sambil mengernyitkan dahi.
"Karena kamu suka main kode-kodean. Kalo suaminya ngga peka kan nyesek juga." Ayah mengacak rambutku,"Kaya Ibu." Lalu kami tertawa.
"Tapi carinya nanti, inget pesen Ayah, fokus dulu sama cita-cita.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wonders || END
أدب المراهقينZunaira, anak dari seorang perawat, tapi berusaha menjauhi jurusan berbau kesehatan. Suatu kegiatan membuatnya jatuh hati pada sosok perawat.Keterpikatan yang muncul sejak jumpa pertama,dalam perkenalan yang sepihak. Lantas terpisahkan oleh ruang...