One : Let's Begin

29 2 0
                                    

Sering dengar atau mungkin mengalami semangat baru pada tahun ajaran baru?

Itu yang aku alami tahun ini, tapi tidak setiap tahun aku semangat dengan pergantian tahun ajaran. Per-rolling-an siswa yang membuatku sering mengeluh. Tahu kan, kalau adaptasi adalah hal yang sulit?

Bahkan saat awal-awal aku masuk ke SMA ini, setiap pulang sekolah selalu menangis, sampai mendapat ledekan dari Zulfi, adikku. Pada waktu itu aku benar-benar tidak punya dan kenal siapa pun, hanya sekadar ngikut orang yang bahkan aku sendiri kurang tahu orangnya seperti apa.

Lain halnya Zulfi, kemampuan adaptasinya menurun dari Ayahku, Ardi. Dia semakin senang jika di lingkungan baru tidak ada yang dikenalnya, lebih menantang katanya.

Aku sulit adaptasi, tapi untungnya aku mewarisi keramahan Ibuku, Aurum. Mungkin ini yang menjadi penyebab aku lebih mudah mendapatkan teman.

Hari ini, sebelum mentari mengedarkan sinarnya, aku telah mengenakan seragam putih abu-abu. Benakku dipenuhi semangat untuk memulai hari pertama kelas dua belas.

"Ayah, Ibu..." Panggilku dari ruang tamu. Mereka masih di dalam kamar.

Aku yakin saat ini Ibu tengah merapikan kerah baju Ayah, kemudian Ayah mengecup keningnya. Aku sempat melihat pemandangan semacam itu beberapa kali setiap Ayah hendak berangkat kerja.

"Mba Nai, can i with you?" Zulfi,muncul dengan wajah riang.

"No!" Jawabku cepat.

"Why? What's your problem,my beautiful sister?" Aku mendengus sebal. Teman-teman melihat kami sebagai siblings goals, but they didn't know. Aku dan adikku tetap seperti kakak-adik pada umumnya yang sering kali tengkar hanya untuk masalah kecil.

"The problem is ... " Aku menarik napas, menahan kekesalan karena bukan kali ini saja dia merajuk ingin berangkat bareng, "Sekolah kamu sama sekolah Mba beda arah!" Aku kembali memberi jawaban yang sama.

"Kamu kan searah sama Ayah, ya berangkat bareng Ayah lah!" Ayahku bekerja di rumah sakit tak jauh dari sekolah Zulfi, sebagai perawat.

"Sekali aja lah Mba, tiga tahun Zulfi sekolah ngga pernah loh, sekalipun dianter sama Mba Nai."

"Hei!!!" Benar-benar anak ini bikin aku emosi.

"Dasar memori kau pendek!Tak ingatkah, pernah Mba antar kalau Mba libur atau masuk siang karena Kakak kelas Mba lagi ujian?"

"Yah..." Dia berlari ke arah kamar orang tuaku. Dasar tukang ngadu!

"Apa sih?" Tanya Ayah.Sebelum Zulfi menggedor pintu kamar, Ayah dan Ibu sudah lebih dulu keluar.

"Ngadu terooos!" Teriakku.

"Kenapa si Nai?" Tanya Ibuku.

"Biasa."

"Biasa yang mana nih?" Tanya Ayah. Ah aku melupakan satu hal. Ada banyak kebiasaan yang Zulfi lakukan setiap harinya, wajar saja mereka bingung 'biasa' yang mana.

"Mba Nai itu loh, ngga pernah mau nganter Zulfi."

Ngga pernah kata dia? Huft. Aku sedikit menyesal meminta adik laki-laki.

"Berangkat sama Ayah aja ya, toh sama-sama nyampe sekolah, kan?" Ayah sedikit mengacak rambutnya.

"Lagian heran, tiap hari tengkar tapi minta dianter terus."

"Karna Mba Naira yang suka bikin tengkar!" God!

"Yaudah deh, yuk!"

"Kalian berdua, berangkat bareng Ayah aja."

"Terus Nai pulangnya?"

"Gampang, kalau Ayah ngga bisa jemput kan ada Kang Ojek,kan?" Huft.

"Yaudah deh." Aku mencium tangan Ibuku.

Sebelum aku benar-benar masuk ke mobil, aku melupakan satu hal. Berbalik badan menghadap perempuan yang tetap awet muda.

"Mom." Aku memberi isyarat meminta tambahan uang saku dengan menggesekkan ibu jari dan jari telunjuk.

"Takut nanti Ayah ngga bisa jemput." Aku merajuk.

"Hem. Sebentar." Ibu kembali masuk untuk mengambil satu lembar uang dua puluh ribu.

"Thank you mom! Love you,mwah!" Aku mencium pipi kanan dan kirinya saat uang sudah aku terima.

"Mom, i want..."

"Hei! Ngga usah merajuk." Potongku saat Zulfi mau minta tambahan uang sepertiku.

"Uang sakumu lebih dari cukup untuk sekedar beli cilok." Ucapku, langsung masuk mobil.

Tak sadar gerbang sekolah sudah di depan mata. Nampak adik-adik kelasku yang masih mengenakan seragam putih biru.

Aku mencium tangan Ayah, lalu beliau mencium keningku. Saat aku diperlakukan seperti ini oleh kedua orang tuaku, aku merasa masih seusia Zulfi. Tapi aku ingin tetap seperti ini. Aku ingin mencari suami seperti sosok Ayah ini, tidak gengsi menyatakan rasa sayangnya kepada anak-anaknya dan tidak malu menyatakan cintanya ke Ibu di depan kami. Walaupun mungkin, aku tidak se-perfect Ibu, beliau sabar,sementara aku ... sedikit childish. Catat itu, S E D I K I T!

"Bye baby cow!" Aku mencubit pipinya lalu segera turun dari mobil sebelum kena amuk.

Setibanya di kelas, aku segera mencari tempat duduk ternyaman. Baris keempat dari pintu, urutan kedua dari depan, tepat di bawah kipas angin. Setelahnya aku membaur dengan teman-teman, bercerita kesana-kemari sambil tertawa 'haha-hihi'.

Tepat pukul tujuh, bel sekolah berbunyi. Disusul seorang perempuan yang menjadi wali kelasku, Bu Wina. Seperti biasa, kami berdiri untuk menyanyikan lagu Indonesia Raya. Khidmat sekali.

Begitu lagu itu selesai dinyanyikan, Bu Wina mulai mengabsen.Ku simak baik-baik setiap nama yang beliau sebut.

" Zunaira? "

" Saya bu." Sembari mengangkat tangan.

Ya, itu adalah namaku. Singkat bukan?

Tahun ini adalah tahun ke tiga satu kelas dengan Rida, dan menjadi tahun ke dua duduk dengannya.
Aku lupa bagaimana kami bisa dekat,tapi tak penting bukan? Karena yang terpenting adalah masa sekarang dan masa depan.

Delapan jam dua puluh menit telah berlalu.Tepat pukul 15.20 kelas dibubarkan.

Wonders || ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang