Hari ini adalah hari ke enam semenjak kedatangan Mas Akbil. Selama itu aku tak keluar kamar. Makan diambilkan, mandi hanya sekadar menyentuh air, dan salat pun aku tidak turun. Kerjaanku hanya duduk,berbaring, sambil menatap kosong apa yang ada di depanku. menyedihkan sekali.
"Nai..." Ayah memanggilku lembut.
"Ayolah Nai, keluar. Apa kamu ingin melanjutkan hidupmu seperti ini?" ucap Ibu.
"Mba Nai, ayo main," ucap Zulfi. Aku tak heran mendengar suara mereka dalam satu waktu. Ini bukan kali pertama mereka membujukku. Tapi aku tak menggubrisnya. Setelah lama tak mendapatkan jawaban dariku, mereka pergi dari depan kamarku. Aku tahu karena mendengar derap langkah di anak tangga.
'Mungkin kali ini aku harus mendengarkan mereka.'
"Nai, mau ke mana kamu?" Tanya Ayah terkejut melihat aku sudah berada di ruang tamu dengan membawa koper.
"Nai mau pergi." Jawabku datar.
"Ke mana? Bukankah belum ada surat panggilan?" Giliran Ibu bertanya.
"Ke tempat yang belum pernah ada aku dengan Mas Aray maupun Mas Akbil." Aku mengulurkan tanganku, berniat untuk menyalami Ibu. Tapi Ibu tak kunjung merespon.
"Everything was finished six days ago, let i reconcile with this situation." Barulah setelah mendengar kalimatku, Ibu meraih tanganku.
"Everything is not finished and gonna be alright." Suara itu membuatku menoleh. Di ambang pintu yang terbuka, sudah ada Mas Aray.
"Sama seperti ceritaku yang belum selesai," lanjut Mas Aray.
Aku menatap kedua orang tuaku. Lagi, aku menangis. Namun, dengan cepat aku menghapusnya.
Ayah mengisyaratkan Mas Aray untuk duduk. Lalu, Ayah, Ibu dan juga Zulfi meninggalkanku. Aku duduk di sofa depannya,menunduk.
"Mau dengar lanjutan ceritaku bukan?"
Aku diam.
"Kamu ingin tahu tentang penghuni, laki-laki,dan perempuan itu kan?"
Aku masih diam.
"Ini dia sosok penghuni dan laki-laki itu." Mas Aray menyerahkan selembar foto.
Aku meraih foto itu. terkejut bukan main, melihat perempuan dalam foto itu sangat mirip denganku. Tak lain dan tak bukan, laki-laki itu adalah Mas Aray sendiri. Apakah perempuan yang dimaksud adalah aku?
"Ya, perempuan itu adalah kamu." Mas Aray seperti paham dengan apa yang ada di kepalaku.
"Aku memang mencintaimu Nai. Tapi aku rasa tak setulus Mas Akbil mencintaimu, pun sebaliknya.Mungkin,perasaanku ini ada karena kamu sangat mirip dengan dia. Setiap kali aku melihatmu, yang aku lihat adalah dia. Mungkin sebenarnya, yang aku cintai juga dia." Mas Aray berhenti. Menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskan perlahan.
I don't know what to say. Bahkan hanya untuk menarik ujung bibir pun aku tak mampu.
"Terimalah Mas Akbil, menikahlah dengan dia Nai,aku ngga papa. Mungkin kalian memang benar-benar berjodoh." Aku mengangkat wajahku, menatap Mas Aray. Dia tersenyum, senyum yang sudah lama tidak aku lihat.
"Aku akan belajar ikhlas, sama seperti kamu yang belajar untuk melepas Mas Akbil. Doakan aku bisa bertemu dengan perempuan sepertimu, walau aku tahu tak akan ada kamu dalam diri perempuan lain."
"Kamu orang yang baik Mas, aku yakin kamu pun mendapatkan yang baik. Entah kapan, tapi semoga lekas dipertemukan."Ucapku setelah terdiam cukup lama.
"Kamu juga baik. Karena itulah Allah mengirimkan orang-orang baik ke dalam hidupmu. Kamu sangat percaya bahwa jodoh ngga akan kemana, sehingga Allah menunjukan kun fayakun-Nya yang luar biasa. Menyatukan kalian dengan cara yang tak pernah disangka."
"Sekarang aku tahu, siapa yang menjadi sainganku. Rupanya, kakaku sendiri."Mas Aray tersenyum tipis, lalu menunduk.
"Oya, soal Pantai Menganti. Apa kamu menuliskan sesuatu di sebuah batu di sana?" Tiba-tiba aku teringat dengan nama yang tak sengaja aku temukan.
"Ya. Zunairay. Zunaira dan Aray. Tapi ternyata nama yang akan tercetak dalam undangan pernikahanmu adalah kakaku, Akbil Wardana."
Aku tersenyum kecut. Ternyata dugaanku pada saat itu benar.
"Maaf ya Mas. Selama tiga tahun ini kamu sangat membantuku di kota orang, tapi sekarang aku menyakitimu."
"Ngga papa Nai. Sudah seperti ini ceritanya. Aku tetap bersyukur mengenalmu."
Aku lega Mas Aray mau mengikhlaskanku. Tak ada dendam maupun kebencian yang terpancar dari wajahnya. Walaupun dia mungkin sangat terluka, kembali kehilangan sosok penghuninya, tapi dia mau menerima. Menerima bahwasanya inilah ceritanya.
***
Esok harinya keluarga Mas Akbil kembali datang untuk melangsungkan pertunangan. Hari ini Ibu telah meriasku dengan riasan sederhana, tapi membuatku tampil berbeda.
"Ibu ngga nyangka Nai." Ucap Ibu setelah selesai meriasku.
"Nai pun ngga nyangka Bu. Ngga nyangka kalau Mas Aray adik Mas Akbil, dan keduanya menyukai Nai."
"Selama ini Ibu hanya mendengar kisah cinta yang luar biasa. Tapi hari ini, Ibu menjadi saksi mata."
"Bu, rombongan sudah datang," ucap Bi Minah.
"Ayo turun." Ibu menuntunku.
Dengan perasaan yang campur aduk,aku mulai melangkahkan kaki.Aku berhenti di anak tangga terakhir. Melihat Mas Akbil yang mengenakan baju batik berwarna merah, dipadu dengan peci hitam di atas kepalanya. Masyaallah....
Aku menoleh ke arah Ibuku. Beliau mengangguk. Aku kembali melangkahkan kaki. Lalu duduk di antara Ayah dan Ibu.
"Cantik sekali calon mantuku," ucap Tante Mega.
Aku tersenyum. Menunduk malu.
"Saya masih ngga nyangka Naira bakal jadi mantu saya. Ngga nyangkanya lagi ternyata kedua anak saya juga suka. Intinya banyak ngga nyangkanya saat denger mereka berdua bercerita," ucap Om Hadi.
"Tapi sebelumnya Aray tahu ngga kalau Akbil mau ngelamar Naira?" tanya Ayah.
"Jangankan Aray. Orang tuanya aja ngga tahu siapa yang mau dilamar sama dia,"jawab Tante Mega.
"Aku ngga tahu sama sekali. Cuma pas di pelataran aku agak mikir, jangan-jangan calonnya Mas Ardan Naira. Udah pasti dugaanku itu ngga meleset, perempuan di sini kan cuma dua, masa mau nikahin emaknya." Kalimat Mas Aray membuat ruang tamu dipenuhi tawa.
"Maaf ya Ray, ngga bermaksud buat nikung," ucap Mas Akbil saat ruang tamu mulai hening.
"Ngga papa Mas, harusnya kamu makasih sama aku karena udah njagain jodohmu." Ruang tamu kembali penuh tawa, sementara aku hanya tersenyum.
"Hati-hati kamu Dan, dia jailnya ngga tanggung-tanggung. Apa aja pernah dia umpetin, jas saya, kunci mobil, semuanya. Dia baru ngembaliin kuncinya ketika Ayahnya sudah selesai kerja. Jadi kalau dia ikut ke rumah sakit sama aja saya ambil dua shift. Herannya, saya mau aja ngeladenin dia. "Aku benar-benar malu mendengar ucapan Om Hadi.
'Tunggu aja Mas, kamu akan jadi korban selanjutnya.'
Setelah berbincang panjang lebar, sampailah pada acara inti. Tante Mega dan Ayah bertukar posisi. Aku menyerahkan tanganku. Tak lama setelah itu, cincin putih bermata satu melingkar di jari manisku.

KAMU SEDANG MEMBACA
Wonders || END
JugendliteraturZunaira, anak dari seorang perawat, tapi berusaha menjauhi jurusan berbau kesehatan. Suatu kegiatan membuatnya jatuh hati pada sosok perawat.Keterpikatan yang muncul sejak jumpa pertama,dalam perkenalan yang sepihak. Lantas terpisahkan oleh ruang...