Three : Pounding

15 1 0
                                    

Tok tok tok

"Nai!" suara Ibu terdengar samar-samar.

"Bangun Nai! Sudah hampir jam enam!"

"Astaghfirullah." Seketika mataku terbuka.

"Iya Bu." Ucapku sambil menyambar handuk.

"Duh dasar! Alarm bunyi ngga mau bangun!" Rutukku saat mengingat selalu mematikan alarm ketika berdering.

Semua aku lakukan dengan kecepatan penuh. Dua puluh menit telah selesai mandi, menjadwal, dan siap-siap, hanya tinggal makan. Padahal jika aku bangun normal, semua aku lakukan hampir satu jam. Jangan tanya bagaimana kecepatanku saat mandi.

"Don't run,Nai!" Seru Ibu panik saat melihatku setengah berlari menuruni anak tangga.

Aku memakluminya, sebab Ibu pernah menyaksikan aku jatuh dari tangga. Untungnya kepalaku tak terbentur walau jatuh dari anak tangga paling atas.

"Bu, Nai bawa bekel aja ya, mepet nih waktunya. Assalamualaikum." Cerocosku sambil menyahut tangan Ibu.

"Assalamualaikum Yah."Aku juga menyalami Ayah yang sedang membaca buku.

"Waalaikumsalam."

Biasanya aku hanya sampai pada kecepatan 50 km/jam, tapi kali ini lebih dari 60 km/jam. Ya memang, selisihnya tidak seberapa, tapi kecepatan segitu dengan kondisi jalan yang lumayan ramai cukup membuat jantungku berdegup.

Tiin!

"Ah!" Suara klakson mobil sukses membuatku latah.

"Perasaan udah minggir banget deh!" ucapku sebal.

Bush!

"Astaghfirullah." Aku melihat pengendara yang main selip seenaknya menyerempet seorang kakek naik sepeda sampai jatuh.

Seketika aku menghentikan sepeda motorku. Tak bisa dipungkiri jantungku berpacu sangat kencang. Kakiku gemetar mendekati kakek itu. Seketika aku menjadi pusat perhatian. Aku yakin pengendara lain yang melintas akan berpikiran bahwa aku pelakunya. Tak apalah jika memang demikian, toh niatnya juga menolong. Lagi pula ada Allah yang tak akan pernah salah menilai kita. Bahkan Dia jauh lebih mengenali kita dari diri kita sendiri.

"Sini Kek, saya bantu." Aku mengulurkan tanganku, membantu kakek itu berdiri. Lantas mendirikan sepedanya.

"Kakek ngga papa? Atau mau ke rumah sakit? Nanti saya antar." Aku melupakan soal sekolah, aku tak peduli jika nantinya akan terlambat. Sebab aku tak mau dihantui rasa bersalah,tak melakukan apapun ketika melihat orang lain kesusahan.

"Kakek ngga papa. Makasih ya Nak, semoga hajatmu terpenuhi."

"Aamiin, kembali kasih Kek. Saya duluan ya Kek."

Setelah mendapat anggukan dari sang Kakek, aku segera melanjutkan perjalanan.

Aku senang, pagi ini mendapatkan doa. Karena aku tak tahu, mungkin saja suksesku nanti adalah berkat dari doa Kakek itu. Walaupun terkadang doa yang diberikan terdengar sepele, tapi sebenarnya tidak. Tidak ada satupun doa yang sepele karena kekuatan doa benar-benar dahsyat, mampu membuka pintu langit, menembus langit sampai lapis tertinggi.

"Eh Pak, sebentar!" Seruku saat melihat gerbang sekolah hampir ditutup.

"Kamu terlambat, ngga boleh masuk!"

"Maaf Pak, tapi tadi ada kecelakaan."

Pak Yono, satpam sekolahku menatapku penuh selidik.

"Beneran Pak, saya ngga bohong. Saya memang kesiangan tadi, tapi sebenarnya masih cukup buat bisa sampai sekolah tepat waktu kok."

Wonders || ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang