Thirty Two : Awkward Moment

6 1 0
                                    

Walaupun badanku sangat letih, tapi aku benar-benar tidak bisa tidur.Aku masih dipenuhi perasaan tidak menyangka. Aku memutuskan untuk tidak memberi tahu siapa pun, termasuk orang tuaku dan teman-temanku.Aku ingin memberi mereka kejutan dengan tiba-tiba menyerahkan undangan.

Entah bagaimana akhirnya aku tidur, sekarang aku sudah terbangun;jauh sebelum azan Subuh. Bibirku tak pernah luput dari senyum. Hingga aku ditegur oleh semua orang di rumahku, termasuk Bi Minah.

Semua hidangan kali ini aku yang memasak. Tak membiarkan satu orang pun membantu, termasuk Bi Minah. Semua orang heran dengan sikapku hari ini, tapi tak kuhiraukan.

"Siapa sih Nai yang mau datang ke sini? Sumringah banget kelihatannya." Ucap Ibu yang masih memperhatikanku dari meja makan.

"Kira-kira siapa?" aku balik tanya.

"Nah dah selesai. Nai ke atas ya Bu, mau bersih-bersih." Aku mengabaikan Ibuku yang sedang berpikir.

Aku hanya mondar-mandir di roof top setelah selesai bersiap-siap. Mendebarkan sekali rasanya. Bahkan saat aku sidang pun tak seperti ini rasanya.

"Neng Nai,tamunya udah datang." Bi Minah menghampiriku.

"Ayah sama Ibu udah menemui mereka?"

"Belum, kayanya masih siap-siap."

Aku mulai membuntuti Bi Minah yang sudah jalan lebih dulu. Lututku kembali gemetar. Perlahan aku menuruni tangga, takut jikalau tiba-tiba jatuh.

Saat aku sampai di anak tangga terakhir, jantungku berdegup dengan frekuensi tinggi. Terpaku. Darahku benar-benar seperti membeku. Tubuhku kaku,terasa sangat berat untuk digerakkan.

'Kenapa ada Mas Aray, Om Hadi dan Tante Mega? Apa mereka satu keluarga?'

"Nai! Jangan bengong dong. Sapa mereka." Ayah menepuk pundakku. Membuat mereka menoleh ke arahku.

Langkah kakiku terasa berat. Ku lihat Mas Aray dengan raut wajah yang tak aku mengerti. Aku yakin, dia pun tak tahu apa-apa tentang kedatangannya ke sini. Aku membuntuti Ayah dan Ibu, kemudian duduk di antara mereka.

"Kalian rupanya yang mau bertamu?" Ayah menyalami mereka.Mereka hanya tersenyum.

" Akbil ini anak sulungmu?" tanya Ayah kepada Om Hadi. Om Hadi mengangguk.

Lalu seketika aku terngiang dengan nama Ardan yang sering Mas Aray sebut.

'Ardan, Akbil Wardana.' Seketika jantungku seperti berhenti berdetak saat mencoba mencocokkan nama Ardan dengan nama belakang Mas Akbil sekaligus pernyataan-pernyataan Mas Aray tentang kakaknya yang dipanggil Ardan itu.

'Jangan-jangan emang bener kalau Ardan itu Mas Akbil. Damn! Aku hampir gila karena perasaanku ke kakaknya, tapi selama ini aku dekat dengan adiknya.' Aku semakin lemas.

Aku melirik ke Mas Aray. Raut wajahnya semakin terlihat bingung dan sedikit pucat.

"Maaf, pagi-pagi mengganggu. Begini, Naira masih singgle kan?" Tanya Om Hadi yang mulai membuka maksud kedatangannya.

Aku mengangguk.

"Syukur kalau gitu. Jadi,saya mau menyampaikan maksud baik dari anak saya." Beliau berhenti sejenak.

"Si Aray ?" Ucap Ibu tiba-tiba membuat mereka terkejut. Sontak aku menyikut Ibu.

"Aray? Tapi saya Tante,  yang mau melamar." ucap Mas Akbil membuat orang tuaku terkejut. Langsung saja menjadi awkward moment.

Aku tak berani mengangkat wajahku. Menunduk dalam-dalam. Kemudian ruang tamu hening.

"Assalamualaikum." Zulfi yang baru pulang dari rumah temannya memecah keheningan. Aku beranikan diri untuk mengangkat wajah.

"Waalaikumsalam." Jawab kami lirih.

"Eh ada Mamas ganteng," ucap Zulfi sambil menyalami Mas Aray. Aku melirik ke Mas Akbil, raut wajahnya bingung. Kemudian beralih menyalami Om Hadi dan Tante Mega.

"Ini Mamas yang waktu itu Zulfi tabrak kan?" Sekarang dia ada di hadapan Mas Akbil.Mas Akbil mengangguk.

"Siapa namanya?"

"Akbil."

Zulfi nampak berpikir mendengar nama Mas Akbil.

"Oh, Mas Akbil Wardana?" Aku terkejut bukan main. Dari mana dia tahu? Ini saja pertemuan yang kedua.

"Tahu dari mana kamu Zul?" Ayah mewaliki pertanyaanku.

"Dari diarynya Mba Nai," ucap Zulfi dengan entengnya. Sementara aku semakin terkejut, tubuhku seperti tersengat listrik. Aku menatapnya tajam, kemudian Zulfi menutup dua mulutnya. Sekarang aku mengerti mengapa buku diaryku pada saat itu terbuka.

Semua orang beralih menatapku, aku kembali menunduk.

'Damn! How dare you open my diary book,Zulfi!' kesalku.

"Kapan?" tanya Ibu. Zulfi diam.

"Kapan Zulfi?" Sekarang giliran Mas Aray yang bertanya.

"Zulfi membacanya satu tahun yang lalu, tapi diary itu tertanggal tiga tahun yang lalu dari hari ini."

Aku seperti kejuhan bom. Tubuhku lemas mendengar ucapannya.

'Zulfi!!!!' Ingin rasanya aku berdiri dan menarik Zulfi lalu membungkam mulutnya.

"Tapi kita aja kenal belum ada satu tahun," ucap Mas Akbil. Aku semakin menunduk. Meremas kedua tanganku. Benar-benar tidak tahu apa yang harus aku perbuat.

"Ke mana Ray?" Ucapan Ayah membuat ku mengangkat kepala. Mas Aray beranjak, keluar dari ruang tamu tanpa sepatah kata pun. Aku semakin meremas kedua tanganku, menahan air mata yang siap tumpah. Ruang tamu kembali hening. Aku kembali menunduk.

'Harus bagaimana?'

Tak lama kemudian Zulfi menyusul Mas Aray. Aku benar-benar tidak ada keberanian untuk mengangkat kepala. Semakin kuat aku meremas kedua tanganku.Ingin rasanya saat itu juga menangis sekeras-kerasnya.

"Ayo Nai, kita bicara." Mas Akbil memecah keheningan.

Aku masih diam. Sepuluh detik, dua puluh detik. Hingga akhirnya Ibu mengusap lembut tanganku, memberi kode agar aku mau bicara dengan Mas Akbil. Aku beranjak, dan aku rasa Mas Akbil mengikutiku. Aku menuju roof top, lalu duduk pada salah satu kursi taman di sana. Ekor mataku menangkap sosok Mas Akbil yang mulai duduk di hadapanku.

"Bisa kamu jelaskan dengan maksud perkataan Zulfi, Ibumu, dan apapun yang terjadi sebenarnya?"

Aku diam. Apa yang harus aku jelaskan, bagaimana aku harus menjelaskan? Dan harus memulai dari mana? Kali ini aku tak sanggup menahan air mataku. Bulir pertama meluncur dengan mulus. Aku berusaha kuat untuk menahan bulir selanjutnya.

"Jangan-jangan Aray juga suka sama kamu, kamu tahu itu?"

Aku menggeleng.

Setelahnya Mas Akbil diam. Tak lama kemudian sudut mataku menangkap Mas Akbil berdiri. aku beranikan diri untuk mengangkat wajah. Mas Akbil pergi, tanpa sepatah kata pun. Saat Mas Akbil sudah tak terlihat, barulah aku menangis sejadi-jadinya, dengan berusaha tidak bersuara. Aku membenamkan wajahku di kedua telapak tanganku.

'What should i do?'

Aku tak pernah menyangka akan menjadi seperti ini. Apakah aku akan kehilangan dia lagi? Dua orang sekaligus? Hatiku seperti dihantam oleh batu besar, sakit, dan mungkin mulai retak. Begitu aku mengenal Mas Akbil, hatiku benar-benar ditempa. Proses pendewasaan yang penuh luka.

"Nai." Aku merasakan tangan Ibu mengusap bahuku lembut. Sektika aku memeluknya, erat. Tangisku semakin pecah sekarang.

"Maafkan Ibu Nai, Ibu ngga tahu bahwa ternyata yang akan melamarmu adalah Akbil."

"Maafkan Zulfi juga Mba. Zulfi ngga bermaksud membocorkan rahasia Mba Nai. Zulfi keceplosan. Sungguh."Ucap Zulfi dengan suara lirih, hampir tenggelam oleh tangisku. Kemudian aku beranjak. Berlari ke kamarku, lalu mengunci pintu

Wonders || ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang