Hari pernikahanku sudah tidak genap dua puluh empat jam. Hari ini Maya, Mutia, dan Laila telah berada di rumahku. Katanya mereka tidak mau melewatkan ijab qabulku. Tak hanya mereka, semua kerabat dekatku pun sudah ada di sini.Pelataran rumahku telah dipasang tarub. Rumahku telah dihias sedemikian rupa, dan kamarku telah dipenuhi mawar putih.
Malam ini, sesuai dengan tradisi keluargaku, Ibuku menyuapiku untuk yang terakhir kalinya. Karena besok aku sudah berpindah tangan. Ibuku menyuapiku dengan mata yang berkaca-kaca.
"Suap terakhir Nai," ucap Ibu lirih sambil menyendok sesuap nasi yang terakhir. Begitu nasi itu masuk ke mulutku, Ibuku memelukku. Tangisnya pecah, membuatku ikut menangis.
"Jadi istri yang baik ya. Apapun yang dikatakan suamimu, selagi itu baik dan tidak melanggar hukum islam, maka turuti. Jika suamimu salah jangan segan untuk mengingatkan, tapi ingat, dengan bahasa yang halus. Menikah itu untuk saling menyempurnakan, bukan untuk menonjolkan kelebihannya masing-masing," ucap Ibu setelah melepas pelukannya.
"Sepasang suami istri itu seperti tangan kanan dan kiri, ketika tangan kiri terluka tangan kanan mengobati, pun sebaliknya," Ayah menambahkan.
"Seorang istri harus punya rasa takut terhadap suaminya,takut untuk membangkang. Selain itu, seorang istri harus menjaga kehormatan suaminya, salah satunya dengan berperilaku yang baik," Nenek ikut menambahkan.
"Ayo Nai, kamu istirahat. Besok harus bangun pagi kan?" Ibu beranjak, lalu memapahku. Aku memberi kode kepada teman-temanku untuk mengikutiku.
Begitu sampai di depan kamarku, Ibu mencium keningku lalu berbalik badan.
"Naira udah mau nikah." Suara Mutia terdengar parau.
"Bakal susah kalau mau kumpul full team," ucap Laila.
"Aku ngga nyangka Nai, kita bakal terhubung ikatan keluarga," ucap Maya.
Aku tersenyum tipis.
"Eh tapi kira-kira Mas Aray nanti manggil kamu apa yah? Mba Nai?" ucap Laila yang kemudian disusul gelak tawa, sementara aku hanya tersenyum.
"Udah mau tidur?" Tanya Maya heran saat melihat aku menarik selimut.
"Kata Ibu suruh istirahat kan?"
"Eh besok udah ngga tidur sendirian lagi kamu Nai," Laila menggodaku.
Aku kembali tersneyum, lalu menarik selimut sampai ujung kepalaku. Rasanya tak sabar untuk tidur berbantalkan lengan Mas Akbil.
***
Usai Salat Subuh aku langsung di rias,pun keluarga dan teman-temaku. Aku didampingi oleh teman-temanku menunggu di ruang rias. Sementara keluargaku yang lain ada di depan.
"Gimana Nai rasanya?" tanya Maya.
"Deg degan banget May, kaya mau pingsan." Aku menggenggam tangannya.
"Gila, kaya kutub utara tanganmu."
"Nai, penghulu udah datang." Ibu dan Nenek masuk ke dalam ruang rias.
"Nai deg-degan Bu."
"Ngga papa Nai. Lagian yang mau ngucap kan Akbil."
"Ah Ibu." Aku menyikut lengannya.
Tempat di mana Mas Akbil akan membacakan qabul untukku telah dipasang kamera yang terhubung dengan monitor di ruang rias. Sehingga aku bisa melihat ekspresi Mas Akbil. Kentara sekali Mas Akbil sangat gugup. Sesekali dia mengusap peluh di dahinya. Aku pun melihat Mas Aray yang menatap Mas Akbil dengan senyuman tipis di bibirnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Wonders || END
Teen FictionZunaira, anak dari seorang perawat, tapi berusaha menjauhi jurusan berbau kesehatan. Suatu kegiatan membuatnya jatuh hati pada sosok perawat.Keterpikatan yang muncul sejak jumpa pertama,dalam perkenalan yang sepihak. Lantas terpisahkan oleh ruang...