Seven : Broken Heart

13 1 0
                                    


Suara rintik hujan di atas genting memecah kegeningan pagi. Udara dingin dipagi hari semakin dingin dengan adanya hujan yang bercampur angin. Perasaan lesu akibat notif yang kemarin masih terasa hingga sekarang, membuatku enggan untuk beranjak dari tempat tidur.

Benar kata orang, hujan memang selalu membawa kenangan. Berbaring dengan pikiran kosong membuat pikiranku melayang jauh ke masa lalu.

Saat di mana aku tak pernah dihargai, dipandang sebelah mata, dipermalukan, dan entah apapun itu yang berusaha aku jalani dengan sekuat hati. Saat di mana aku dengan leluasa tertawa, bercerita, bersikap, menjalani hariku sebagai diriku sendiri tanpa memikirkan penilaian dari orang lain. Namun, sekarang gerakku terbatas, sebab terlalu sibuk memikirkan penilaian orang lain. Aku sadar ini salah, maka dari itu, seiring dengan bertambahnya usia, yang aku harapkan juga bertambah dewasa, aku semakin berusaha membenahi diri.

Ku pejamkan mata beberapa saat sambil menghirup udara dalam-dalam yang sekarang berbau tanah. Membuka mata perlahan setelah tarikan napas ketiga. Sebelum mataku terbuka sempurna, bayangan Mas Akbil menerobos lensa mataku.Senyum yang terukir demikian indah, dengan rambut yang tertata rapi, menyenangkan sekali.

Ku raih hpku, membuka instagram Mas Akbil. Kulihat kembali chat singkat yang berujung status 'dilihat.'

Bayangan Mas Akbil yang tidak mau enyah dari pelupuk mata menghadirkan rindu yang tiada tara.Teramat ingin menandai Mas Akbil dalam suatu postingan, tapi ucapan Ibu yang tiba-tiba terngiang mencegah niatku,

" Seorang perempuan harus bisa menjaga kehormatannya. Jika dia sendiri tidak bisa menjaga kehormatannya, bagaimana bisa dia menjaga kehormatan suaminya nanti?"

Ku raih buku diary bersampul biru.

Ya Allah, aku tak tahu dengan perasaanku yang sebenarnya. Tapi aku sadar bahwa aku rindu. Rasa apapun ini, jika memang datang dari-Mu, semoga Engkau menunjukkan aku cara yang benar untuk memperlakukan perasaanku. Jika memang suka, semoga bukan sekedar rasa suka yang mudah lupa.-Akbil Wardhana-

"Mba Nai!" panggil Zulfi dari luar kamar.Aku beranjak untuk membukakkan pintu untuknya.

"Apa?"

"Disuruh sarapan." Tanpa menunggu jawaban, dia sudah berlalu.

Perlahan aku menuruni setiap anak tangga, ditemani oleh bayangan Mas Akbil tentunya. Dadaku terasa menyempit, seolah-olah telah dipenuhi oleh rindu.

"Nai, ko melamun sih?" Ayah membuatku sedikit tersentak.

Aku menggeleng sambil tersenyum.

"Ada masalah?" tanya Ibu.Aku menggeleng sambil menarik salah satu kursi di meja makan.

"Paling patah hati," celetuk Zulfi.

"Hey, baby cow!  Tau apa kamu!"

"Apa sih, Mba Nai! Baby cow mulu!" Zulfi tidak terima.

"Udah, udah. Masih pagi udah ribut. Sarapan tuh." Ayah mendekatkan nasi yang telah disiapkan Ibu kepadaku dan Zulfi.

"Kalau emang beneran patah hati, jangan terlalu dipikirin Nai. Let it flow! Biasa aja, sibukkin diri."

"Apa si Ibu, siapa juga yang patah hati."

"Ibu juga pernah remaja kali Nai. Ya kaya kamu ini, mana mau Ibu ngaku sama Nenek kamu waktu Ibu patah hati." Jawab Ibu sambil meraih kursi di samping Ayah.

"Dasar Mba Nai! Udah ketahuan masih aja ngga mau ngaku." Tanpa pikir panjang aku memukul kepala Zulfi dengan sendok yang tengah aku pegang. Dan ...  Zulfi nangis.

"Mba Nai nakal banget sih! Zulfi ngga mau punya Kakak kaya Mba Nai!" serunya.

"Ssst, ngga boleh gitu. Kamu lahir salah satunya juga karena Mba Nai," ucap Ayah. Tapi Zulfi seakan tidak peduli. Dia masih terus nangis, dan kemudian Ibu berusaha menyuapinya. Herannya, dia tetap melahap nasi itu. Dasar baby cow!

" Tapi ngomong-ngomong kamu udah nemu jurusan yang cocok?" tanya Ibu.

"Akuntansi."

"Lintas jurusan?" Ayah sedikit terkejut.

"Mau bagaimana lagi? Minat Nai di sini," ucapku lesu sambil mengacak-acak nasi yang telah Ibu ambilkan.

"Ya udah deh ngga papa. Yang penting setelah kamu kuliah kamu menjalaninya ngga setengah hati. Karena apapun yang dikerjakan dengan setengah hati ngga akan jadi," petuah Ibu.

Aku memaksakan untuk menarik dua ujung bibirku. Berusaha menyingkirkan Mas Akbil dari otakku, memberi celah untuk ucapan Ibu agar bisa tersimpan dengan baik.

Wonders || ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang