Dengan semua kesibukanku membuat waktu terasa semakin cepat berlalu. Aku telah melewati semua tahap, mulai dari revisi hingga sidang, dan sekarang adalah tahap terakhir untuk mengakhiri jabatan sebagai mahasiswa, wisuda.
Setelah kedatangan Mas Akbil ke kosku, Mas Akbil selalu bilang ingin ke rumah. Tapi selalu gagal dengan segudang alasan. Apapun itu, tapi berkali-kali membuatku merenung, dan Mas Aray datang mengembalikan keceriaan. Mas Akbil seperti bakteri yang menyebabkan seseorang jatuh sakit, dan Mas Aray seperti obat yang menjadi penawar sakit.
"Mba Nai! Ayo dong! Lama banget sih!" Zulfi sudah tidak sabar menungguku.
"Iya!" Aku berjalan mendekati mereka. Saat ini aku mengenakan kebaya kutu baru berwarna abu-abu, dengan jilbab pasmina yang juga berwarna abu-abu, kemudian diberi pemanis berupa bros berwarna silver.
"Caktiknya sulung Ayah," ucap Ayah saat aku sudah di ruang tamu.
"Orang tua Nai aja cantik sama ganteng," jawabku sambil menyimpulkan senyum.
"Ayo!" Rupanya Zulfi memang benar-benar tidak sabar. Padahal sekarang Zulfi masuk kelas dua SMP, tapi terkadang masih seperti anak SD.
Aku mengacak rambutnya.
"Ah Mba Nai! Nanti gantengnya berkurang!" Ucapnya jengkel. Kemudian merapikan kembali rambutnya. Aku tersenyum melihat kelakuannya.
Di satu sisi aku sangat senang karena sebentar lagi akan terbebas dengan bangku kuliah, di sisi lain aku sedih karena harus berpisah dengan teman-temanku. Seperti teman-teman SMA-ku yang sibuk dengan kuliahnya masing-massing, pasti nantinya kami juga sibuk dengan dunia kerja masing-masing.Terlebih aku merasa berat berpisah dengan Mas Aray. Di mana lagi akan aku temukan laki-laki sebaik dia?
"Nai, gimana? Udah nemu calon belum?" tanya Ayah saat di perjalanan.
"Eh, itu si Aray sudah punya cewe belum?" Belum sempat menjawab Ayah, Ibu sudah bertanya.
"Emang kenapa?"
"Kalau belum sama Aray aja. Kalo engga sama kembarannya."
"Belum tentu mereka juga suka sama Nai."
"Ayah sih udah yakin seratus satu persen kalau Aray suka sama kamu."
"Ibu rasa kembarannya juga suka."
Mereka tak henti-hentinya meledekku. Bahkan meledek ke arah yang lebih serius, nikah.
"Udah lah Yah, Bu, nanti Nai nikah ko. Sekarang Nai wisuda dulu."Ucapku akhirnya setelah hanya mendengar ledekan mereka. Mereka hanya tersenyum. Sementara Zulfi benar-benar tidak bicara selama di perjalanan.
Sepuluh menit kemudian kami sampai di pelataran gedung wisuda. Aku menggandeng Ayah, sementara Ibu menggandeng Zulfi. Aku melihat sudah banyak mahasiswa beserta keluarganya di sana. Mataku menyapu mereka untuk mencari sosok teman-temanku.
"Naira." Aktivitasku terhenti setelah mendengar namaku dipanggil. Kami menoleh.
Lagi, kedatanagan Mas Akbil selalu mengejutkanku. Padahal aku tak memberi tahu dia, aku hanya membuat insta story, itu pun tidak dia respon. Untuk ke sekian kalinya aku melihat Mas Akbil mengenakan baju perawat.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
"Selamat ya Nai, atas kelulusannya. Semoga dapat ilmu yang manfaat."
"Aamiin. Makasih. Oya kamu di sini ada perlu apa?"
"Nih." Dia menyodorkan sebuah bingkisan kecil.
Tanganku mengambil bingkisan itu dengan gemetar.
"Ehem." Ayah berdehem, membuat Mas Akbil jadi salah tingkah.

KAMU SEDANG MEMBACA
Wonders || END
Fiksi RemajaZunaira, anak dari seorang perawat, tapi berusaha menjauhi jurusan berbau kesehatan. Suatu kegiatan membuatnya jatuh hati pada sosok perawat.Keterpikatan yang muncul sejak jumpa pertama,dalam perkenalan yang sepihak. Lantas terpisahkan oleh ruang...