Nineteen:First Climb

11 1 0
                                    

"Kenapa bilang kaya gitu ke Ibumu." Ucapku saat dalam perjalan kembali ke Tangerang.

"Yang mana?"

"Soal jodoh."

"Oh. Ya ngga papa sih. Iseng aja, siapa tahu malaikat ikut mengaminkan."

"Aku ngga ngerti."

"Kamu akan paham dengan berjalannya waktu. Terlebih pada usiamu yang menurutku sudah cukup dewasa untuk mengerti hal-hal kecil semacam ini," ucapnya datar.

Little thing he said? Tapi menurutku ini benar-benar ribet. Kembali aku diberi teka-teki tanpa clue jawaban. Ah mungkin sudah ada clue dalam kalimatnya, tapi aku belum bisa mencerna.

Semenjak melihat insta story Mas Akbil bersama seorang perempuan, aku sudah lebih bisa mengendalikan diri untuk tidak memikirkannya. Aku juga berusaha mencari sesuatu yang bisa aku kerjakan, agar pikiranku tak kosong, mengerjakan tugas temanku salah satunya.

Tapi untuk kali ini, setibanya di kontrakan, aku tidak tahu apa yang harus dilakukan. Semua tugas sudah selesai, semua buku bacaan sudah selesai dibaca. Hanya duduk bersandar di ranjang, sambil menatap lurus dinding di depanku. Dering hpku membuyarkan lamunanku, Ayah menelepon rupanya.

"Assalamualaikum Yah."

"Waalaikumsalam. Mba Nai mau pulang kapan? Emang ngga kangen sama Zulfi?"Ternyata Zulfi dalangnya.

Bukan sekali ini Zulfi bertanya kapan aku pulang karena memang sudah lebih dari satu tahun aku tahun aku baru pulang sekali, saat Idul Fitri.

"Engga sih. Dari kamu si apa yang di kangenin?" Aku tertawa kecil.

"Pulang sehari deh." Setelah duduk di kelas enam, Zulfi lumayan banyak berubah, tidak banyak memancing ribut, lebih mau ngalah, dan terkadang dia bersikap sok dewasa dengan menawarkan diri menjadi tempat curhat.

Setelah dipikir-pikir, aku memutuskan untuk pulang, barang sehari. Tiba-tiba notifikasi dari Mas Aray membuatku tersentak.

Mas Aray : Nai besok muncak yuk.

Naira : Muncak? Besok? Tapi besok aku mau pulang.

Mas Aray : Muncak dulu napa? Besok aku anterin kamu pulang.

Aku termenung, memikirkan keputusan yang tepat. Tapi aku rasa harus menghubungi Ayahku.

Naira : Yah, besok Nai diajak muncak sama Mas Aray. Gimana?

Ayah : Ngga jadi pulang berarti? Kata Zulfi kamu mau pulang.

Naira : Pulang, tapi habis muncak Insyaallah. Katanya Mas Aray mau nganterin.

Ayah : Siapa aja?

"Eh iya, sama siapa aja yah?"

Naira : Emang besok mau sama sapa aja Mas?

Mas Aray : Temen-temenku. Maya, Laila sama Mutia juga ikut.

Naira : Iyakah? Ko mereka ngga bilang sama aku?

Mas Aray : Ini aku baru bilang ke mereka.

Kemudian aku abaikan sejekan chat dengan Ayah dan Mas Aray. Aku kirimkan pesan ke grup khusus aku dan tiga temanku.

Naira : Man-teman.

Maya : P

Mutia : Y

Laila : ?

Naira : Kalian besok ikut muncak?

Maya : Ikut dong.

Laila : Udah mulai packing malahan.

Kemudian dia melampirkan foto barang bawaannya.

Mutia : Kamu mau muncak ato pindah rumah?

Setelah mendapat kepastian dari teman-temanku, aku kembali membalas chat Ayahku.

Naira : Sama temen-temen Nai. Tiga cewe.

Ayah : Ya udah, sanah muncak. Hati-hati ya.

Kemudian aku mulai memilah-milah baju yang akan dibawa. Kurang lebih satu jam aku sudah selesai.

20.00

"Naira...." Aku mendengar suara Maya. Aku pun segera membukakan pintu.

Rupanya tidak hanya Maya, tapi juga Laila dan Mutia. Satu per satu mulai masuk.

"Ko ngga bilang?"

"Kenapa? Ngga boleh?" Jawaban sekaligus pertanyaan dari Mutia dengan nada yang menyebalkan.

"Bukan gitu sih."

"Udah siap belum kamu?" Tanya Maya. Aku mengangguk.

"Ya udah, yuk sekarang kita tidur. Kata Mas Aray besok dijemput jam lima pagi," ajak Laila.

***

Tak meleset sedikit pun, tepat jarum panjang di angka dua belas dan jarum pendek di angka lima, terdengar ketukan pintu dan salam.Belum sempurna salam diucapkan, Maya telah membuka pintu.

Mas Aray memakai kemeja panjang berwarna putih, dengan jaket berwarna biru dongker, semakin terlihat manis. Tapi entah mengapa, setiap kali Mas Aray tersenyum selalu tergambar wajah Mas Akbil pada wajahnya.

"Langsung berangkat?"

Kami mengangguk. Dengan cepat Maya membuka pintu depan.

"Silakan duduk tuan putri." Dengan ala-ala orang keraton.

"Aku ngga mau duduk di depan."

"Ssst, ngga menerima penolakan." Ucapnya sambil mendorongku.

"Kenapa emang ngga mau duduk di depan? Kemaren aja duduk di sebelahku." Ucap Mas Aray saat mobil sudah jalan.

"Eh?" Entahlah, tapi tiba-tiba aku merasa grogi.

Mas Aray tak mengulangi ucapannya. Tak mempedulikan aku yang masih berusaha untuk mencari jawaban. Tapi karena merasa tak dipedulikan, aku berusha untuk melupakan ucapannya.

***

Kami sudah sampai di lokasi setelah perjalanan yang cukup panjang. Rupanya di sana sudah ada teman-teman Mas Aray.

"Hai Bro! Maaf ya gue telat." Ucap mas Aray yang membuatku tersenyum kecil, 'Gue?'

"Santai Bro, kita juga baru sampai," jawab salah satu dari mereka.

"Oya kenalin, ini Naira, Maya sepupu gue, Laila, Mutia." Dia mengenalkan kami pada mereka.Mereka pun bergantian mengenalkan diri.

"Yuk, jalan sekarang." Ajak salah satu teman Mas Aray yang lain.

Aku berjalan beriringan dengan Mas Aray karena paksaan dari tiga kerucilku. Semenjak mulai mendaki, mereka tidak bisa diam. Untuk semua yang mereka lihat selalu dikomentari. Aku yang baru kali ini mendaki sebenarnya juga ingin seperti mereka, tapi canggung yang menyergap tiba-tiba membatasi pergerakan dan ucapanku.

"Kenapa kalian tidak menyimpan energi kalian dengan diam?" Mas Aray akhirnya bersuara setelah hampir setengah pendakian mendengar ocehan mereka.

"Semakin kita banyak bicara, artinya semakin semangat." Jawab Mutia dengan ringannya.

Mas Aray tak bisa membantah mereka karena semangat mereka memang benar-benar terpancar.

"Masyaallah."

"Alhamdulillah."

Dua kalimat itu selalu kami ucapkan setelah menempuh pendakian yang cukup lama akhirnya sampai di puncak.

"Nai, yuk ikut." Ajak Mas Aray.

"Kemana?"

Tapi Mas Aray tidak menjawab, malahan berjalan meninggalkanku. Aku segera mengikut di belakangnya. Seketika aku terbius dengan pemandangan yang ada di hadapanku. Sejauh mata memandang yang terlihat adalah Anaphalis javanica, Edelweiss.

"Suka?" Aku tersenyum sambil mengangguk.

"Sama aku?"

"Suka dong, kalo benci mah aku ngga mau ke sini." Aku tersenyum. Mas Aray juga tersenyum, tapi senyuman kali ini nampak berbeda.

Wonders || ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang