Thirty Five : Answered 2

9 0 0
                                    

Aku berniat untuk membantu Ibu menyelesaikan beberapa pekerjaan, tapi beliau melarangku. Katanya calon pengantin harus banyak istirahat, agar saat hari pernikahan tidak pucat. Aku pun menurut.

Aku merebahkan badanku di ranjang. Saat aku membuka hp, banyak sekali pesan dan panggilan tak terjawab dari teman-teman kuliahku dan juga Rida. Aku tersenyum geli membaca pesan mereka. Walaupun aku tak melihat ekspresinya, tapi aku yakin ekspresi mereka tak jauh berbeda dengan ekspresi Afna, Zahra, dan Nana. Orang pertama yang aku hubungi balik adalah Rida.

"Kamu bener mau nikah sama Ka Akbil? Ngga lagi nge-prank-kan?" ucapnya cepat sekali usai membalas salamku.

"Satu-satu dong."

"Ah ngga sabar. Gimana-gimana? Kamu harus ceritain semuanya ke aku!"

"Males ah. Panjang banget."

"Kalo kamu ngga cerita aku ngga mau dateng ke pernikahanmu."

"Yakin?"

"Ayolah.. aku mau denger."

"Bentar." Aku melirik bar notifikasi yang sudah penuh dengan pesan dari teman-temanku. Mereka bertanya tentang hal yang sama. Akhirnya aku menghubungkan semua teman SMA-ku dalam video call.

Aku mulai menceritakan bagaimana aku bertemu dengan Mas Akbil hingga akhirnya dia datang melamarku. Kuceritakan pula tentang Mas Aray.

"Jadi dua bersaudara suka sama kamu? Dan akhirnya kamu memilih kakaknya?" tanya Nana begitu aku selesai dengan ceritaku.

"Padahal yang baik ke kamu selama itu kan adiknya. Gila, jahat banget si kamu," ucap Rida menahan emosi.

"Ya gimana lagi? Fitrahnya hatiku kayak gini. Masa iya aku nikah sama orang yang ngga aku suka?"

"Sebaik itu masih belum bisa bikin kamu suka? Sementara Ka Akbil? Aku ngga tau sama jalan berpikirmu dan aku ngga nyangka sama kisahmu," ucap Zahra sambil menggeleng-gelengkan kepala.

"Jangankan kalian, aku aja ngga nyangka."

"Bagaimanapun Si Aray itu terlihat ikhlas pasti sakit hati banget Ra. Bayangin deh, orang yang dia suka nikah sama kakaknya sendiri. Sakit oy!" lanjut Zahra.

Aku menghela napas panjang. Apa yang diucapkan Zahra ada benarnya. Pasti sangat menyakitkan untuk Mas Aray. Setelah mereka benar-benar kehabisan kata untuk mengungkapkan rasa tidak percayanya, video call kami selesai.

Aku langsung menghubungi teman kuliahku,tiga sekaligus, dalam video call. Tak butuh waktu lama untuk menunggu mereka. Aku rasa mereka stand by menunggu panggilan balikku.

"Eh Ra, lo nikah sama Akbil? Si Aray gimana?" cerocos Laila.

"Emang si Akbil itu siapa sih? Ko kamu ngga pernah cerita apa-apa tentang dia? Tau-tau nyebar undangan aja." Mutia ngga mau kalah.

Dari tiga temanku itu yang hanya Maya yang tak bersuara. Tapi wajahnya benar-benar penuh tanda tanya. Mungkin saking bingungnya hingga dia tak mampu berkata-kata. Mungkin juga terlalu banyak pertanyaan hingga tak tahu mana yang harus didahulukan.

"Mas Akbil itu kakak Mas Aray."

"Hah!Kakak Mas Aray?!" seru Laila dan Mutia.

"Gimana bisa?!" lanjutnya.

Aku menceritakan hal yang sama kepada mereka, seperti aku bercerita kepada teman-teman SMA-ku. Mereka hanya menggelengkan kepala sepanjang aku bercerita. Hingga aku selesai dengan ceritaku, mereka masih belum selesai menggelengkan kepala. Bahkan mulutnya sampai menganga.

"Aku ngga tahu mau ngomong apa." Maya akhirnya bersuara sambil tetap menggelengkan kepala.

"Selama ini kita berusaha buat ndeketin kalian, karena kita pikir kalian sama-sama suka. Tapi ternyata kita salah besar. Sekeras apapun kita mencoba, sesering apapun kita meledek kamu, ternyata tak bisa memalingkan kamu dari Mas Akbil," ucap Laila.

Wonders || ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang