Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya datang. Sekarang aku sudah ada di lokasi kegiatan. Kegiatan kali ini diadakan di Dayeuh Luhur, perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Barat. Kondisi jalan setelah memasuki wilayah ini benar-benar luar biasa. Berkelak-kelok, naik-turun. Kami sampai di sini pukul tiga sore,langsung melakukan apel pembukaan. Setelahnya, melakukan kegiatan yang pertama;belajar mengaji. Alhamdulillah, aku menjadi salah satu pematerinya. Menyampaikan materi tentang tajwid dan makhorijul huruf.
"Adek-adek, tempat keluarnya huruf itu ada lima, tenggorokan, rongga mulut, rongga hidung, bibir dan lidah. Tenggorokan sendiri dibagi menjadi tiga, pangkal tenggorokan, tengah tenggorokan, dan ujung tenggorokan. Coba, ada yang bisa menyebutkan huruf apa aja yang keluar dari tenggorokan?" Tak ada satu pun yang berani mengacungkan tangan.
"Yang berasal dari pangkal tenggorokan itu alif, hamzah, dan ha. Yang dari tengah tenggorokan itu kha, 'ain, dan yang dari ujung tenggorokan itu 'ghain dan kho." Aku sambil mencontohkan cara pengucapannya.
Aku sangat senang melihat mereka demikian antusias mengikuti setiap rangkaian kegiaatan. Kegiatan hari ini berakhir pukul delapan malam, yang ditutup dengan kajian, diisi oleh Mas Aray.
"Jadi Adek-Adek, kita harus optimis, yakin bahwa kita mampu mewujudkan semua cita-cita. Harus percaya diri bahwa kita bisa, karena pesimis akan menghalangi kita untuk sukses." Demikian kalimat penutup Mas Aray.
Esok harinya, kami melaksanakan tafakkur alam, menanam pohon di tempat yang tinggi. Setengah perjalanan kami tempuh dengan mengendarai bus, setengahnya lagi kami berjalan kaki.
Mas Aray menjelaskan apa saja yang harus kami lakukan di sana. Kedewasaannya benar-benar tampak. Adil terhadap semua orang, tak pandang bulu sama sekali.
"Nai, dia cocok yah jadi pemimpin. Dewasa, adil, bijaksana," bisik Maya.
"Udah cocok belum buat mimpin rumah tanggamu Nai?" sambungnya. Sontak aku menyikut perutnya.
"Kuliah aja belum selesai!"
"Naira!Maya! Jangan bisik-bisik!" Seruan Mas Aray mengejutkan kami. Dia sangat bertolak belakang dari Mas Aray sehari-hari. Ramah, santai buat ngobrol, eh sekarang.
"Kamu si," ucapku pelan. Maya menggaruk pipinya.
Aku memperhatikan setiap kalimat yang terlontar dari mulutnya. Menjadikanku teringat pada saat sosialisasi dua tahun yang lalu, di aula SMA.
***
Dua hari satu malam di Dayeuh Luhur sudah selesai. Sekarang ini, semua mahasiswa anggota Bambu Pelangi bersiap untuk masuk bus.
"Yuk Nai." Ucap Mas Aray saat aku bersiap untuk masuk bus. Aku mengernyitkan dahi tak mengerti.
"Katanya mau nemenin aku nganter surat."
"Surat? Surat apa?" Aku semakin tak mengerti.
"Surat buat pimpinan hotel Nai, kan kamu sendiri yang balas chat-nya," ucap Maya tiba-tiba.
"Buruan gih, nanti barang-barangmu aku bawain," ucap Laila.
Entah siapa yang diam-diam membalas chat Mas Aray tanpa sepengetahuanku, tapi aku yakin salah satu dari mereka, atau mungkin semuanya adalah dalangnya. Aku tak enak hati untuk menolak, karena aku tak punya alasan yang akurat untuk menyangkal bahwa bukan aku yang membalas chat-nya.
Kami berdua naik travel yang sudah di pesan oleh Mas Aray. Untuk kali ini aku benar-benar canggung ada di samping Mas Aray. Walaupun berjarak, tapi rasanya tak keruan.
"Kenapa ngga minta temenin Maya? Kan dia sepupumu." Ucapku setelah terdiam lama.
"Maya ngga mau."
Aku hanya manggut-manggut mendengar jawabannya.
Sekitar empat jam perjalanan, kami sampai di sebuah hotel. Aku disuruh untuk menunggu di travel. Sekitar lima belas menit, Mas Aray kembali ke travel.
"Kita mampir dulu ke rumahku ya."
"Em, boleh." Lagi lagi aku tak enak untuk menolak.
Jarak rumah Mas Aray dari hotel ternyata tak terlalu jauh. Setelah menempuh perjalanan tiga puluh menit, kami sampai di pelataran rumah Mas Aray. Nampak di sana ada banyak tukang, aku megira bahwa rumahnya sedang di renovasi.
"Assalamualaikum." Mas Aray mengucap salam sembari melangkahkan kaki ke dalam.
"Ayo Nai." Aku mengikut di belakangnya.
"Waalaikumsalam." Suara seorang perempuan terdengar mendekat. Pasti Tante Mega, Ibunya.
"Eh Aray." Beliau segera memeluk Mas Aray dan menciumnya dengan gemas. Aku tersenyum melihatnya, tak menyangka Mas Aray masih diperlakukan seperti itu.
"Ibu..." Mas Aray berusaha melepaskan tangan perempuan yang dipanggil ibu itu dari pipinya.
"Malu tahu." Lanjutnya lirih, tapi masih bisa aku dengar.
"Halah kamu. Eh ini siapa?"
"Naira."
"Naira?" Beliau seperti berusaha untuk mengenali aku.
"Sulungnya Pak Ardi."
"Wah sudah besar rupanya." Om Hadi muncul dari kamarnya.
Aku tersenyum mendengarnya.
"Sini duduk," ajak Tante Mega.
"Ini calon mantu Ibu?" Tante Mega setengah berbisik sambil melirik ke arahku. Tapi sebenarnya tak layak disebut bisikan, karena terdengar jelas di telingaku.
"Doakan aja berjodoh Bu." Aku terbelalak mendengar jawabannya Mas Aray, dan menjadi kikuk seketika. Sementara Mas Aray, tersenyum ke arahku.
"Mas Ardan katanya pulang."
"Iya, tapi sekarang lagi di rumah temennya," jawab Om Hadi. Yang kemudian dilanjut membuka lembaran masa lalu, saat aku sering ikut Ayah ke rumah sakit.
Aku menjadi bahan ledekan di sana. Tapi aku suka, karena aku memang sangat merindukan masa itu. Masa di mana aku menjahili Om Hadi.

KAMU SEDANG MEMBACA
Wonders || END
Teen FictionZunaira, anak dari seorang perawat, tapi berusaha menjauhi jurusan berbau kesehatan. Suatu kegiatan membuatnya jatuh hati pada sosok perawat.Keterpikatan yang muncul sejak jumpa pertama,dalam perkenalan yang sepihak. Lantas terpisahkan oleh ruang...