Twenty Four : Clue,Maybe

10 0 0
                                    

Aku terus menangis hingga tak lagi bisa mengeluarkan air mata. Sesak sekali rasanya. Jauh lebih sesak dibanding saat aku melihat insta story Mas Akbil yang bersanding dengan perempuan itu. Aku seperti tak mendapat cukup oksigen, lemas. Lelah hati, lelah pikiran, lelah badan. Apa yang bisa dilakukan sekarang selain perbanyak istigfar.

Dalam setiap helaan napas aku beristigfar, walau dalam hati. Mungkin ini teguran karena aku terlalu dalam mencintai makhluk. Seakan-akan sudah memberikan seluruh hati, sementara dia sendiri belum berbaiat. Aku terlalu bodoh. Bertahan dengan alibi mengikuti kata hati. Benarkah itu kata hati? Saat ini aku pun tak bisa menjawab. Jangan-jangan selama ini bukan kata hati, melainkan nafsu.

"Astaghfirullah...."

Ingin rasanya aku menertawai diri sendiri. Terlalu dini mencintai, bahkan sebelum tahu seluk beluknya. Memilih bertahan, sementara mata sudah melihat perempuan lain bersanding dengannya. Memutuskan berhenti setelah mendengar langsung dari mulutnya. Aren't I so stupid?

Aku tahu dan paham, bahwasannya berharap pada makhluk hanya berujung kecewa. Aku terpedaya oleh rasa yang katanya cinta, rindu, atau apapun itu.

'Maafkan aku telah lalai Ya Rabb. Sekarang aku serahkan semua kepada-Mu, jodoh salah satunya. Aku terima dengan siapa Engkau akan menyatukanku. Karena pilihan-Mu adalah yang terbaik untuk dunia dan akhiratku. Maafkan aku jika selama ini aku terlalu berharap pada makhluk.'

***

"Nai..." Suara Ayah terdengar lembut.

Perlahan aku membuka mata. Aku sedikit terkejut dengan apa yang aku lihat, teras kontrakan.

"Nai tidur kapan Yah?" Aku tak sadar kapan aku mulai tidur.

"Ayah sendiri ngga tau. Saat Ayah menyusulmu, kamu ngga ada. Terus Ayah ketemu sama Akbil, katanya kamu ke mobil. Ayah masuk lagi deh. Pas acaranya udah selesai, kamu udah tidur," jawab Ayah panjang.

Aku mengangguk-angguk. Aku pikir aku tertidur karena terlalu lelah. Aku turun dari mobil, kemudian ke kamar untuk melanjutkan tidur.

Tok tok tok

" Nai," panggil Ayah sedikit keras. Aku pun mendekat untuk membukakan pintu.

"Kenapa Yah?"

"Ada calon menantu."

"Mas Aray?"

"Lihat aja sendiri."

Aku segera mengenakan jilbab, lantas menemui orang yang aku rasa adalah Mas Aray.

Tubuhku terasa terpaku saat melihat sosok itu. Dia menoleh ke arahku. Pandangannya lurus, menjurus, dan teramat dalam. Aku memaksa untuk melangkahkan kakiku, walau darahku terasa membeku. Semakin membeku seiring bertambahnya langkahku, seiring semakin dekat jarakku dengannya.

"Tahu aku tinggal di sini dari mana?"

"Sekarang teknologi sudah semakin canggih Nai."

"Ngapain ke sini?"

"Ngga boleh?"Aku diam. Menunduk.

"Mau sampai kapan diam terus?"Aku masih diam.

"Mas mau kita melanjutkan pembicaraan pada malam itu."

"Semua sudah selesai bukan?" Aku berbicara dengan suara yang parau.

"Selesai karena kamu pergi.Mas mau meluruskan apa yang telah bengkok dalam pikiranmu." Aku beranikan diri untuk mengangkat wajah. Dia masih menatapku.

Aku tak mengerti dengan yang dia katakan. Sama seperti dulu, dia selalu menghadirkan teka-teki baru.

"Kamu mungkin ngga paham sama apa yang Mas bilang. Tapi Mas sangat paham walau kamu tak mengatakan apapun. Orang bilang kedewasaan membawa seseorang berpikir semakin kritis bukan? Memang benar adanya.Bukankah semua orang di dunia ini telah memiliki calon masing-masing? Entah siapapun itu, disadari atau tidak keberadaanya. Allah telah memilihkan calon dari masing-masing kita jauh sebelum kita diciptakan."

Aku merenungi setiap kalimatnya. Berusaha menguraikan makna yang terselip di dalamnya.

"Sekarang aku paham. Mas ke sini cuma ingin menegaskan bahwa Mas Akbil udah punya calon kan?"

"Tepat sekali."

Deg!

Kembali aku berusaha menahan air mata. Menguatkan ruas-ruas tulang belakangku, agar tetap duduk tegak.

"Pergilah. Temui calonmu." Aku berusaha menarik dua ujung bibirku, walau sangat kaku. Aku mengumpulkan kekuatan untuk berdiri, tapi aku tak mampu. Aku kembali menunduk.

"Kemana Mas akan pergi jika orang itu ada di sini?"

Aku kembali mengangkat wajahku. Semakin tak mengerti.Dia merogoh saku di baju bagian dada sebelah kiri. Menyodorkan sesuatu ke arahku. Cincin putih bermata satu.

"Setengah lima?" Aku terperanjat melihat jam dinding yang menempel di dinding depanku.

"Sudah bangun rupanya. Mimpi apa sih? Susah banget dibangunin." Ayah masuk ke dalam kamarku. Aku rasa beliau habis mandi.

Aku menggeleng.

'Jadi pertemuanku dengan Mas Akbil barusan cuma mimpi?' Aku tersenyum tipis. Tak apalah, ini menjadi mimpi yang indah. Mungkin akan menjadi yang terindah.

"Buruan gih Salat Subuh."

Aku segera menarik selimut. Menuju kamar mandi untuk mengambil air wudu. Usai salam, aku terbengong.

"Mikir apa Nai?" Ayah membuyarkan lamunanku.

Aku menggeleng. Tapi Ayah tak salah, aku memang sedang memikirkan sesuatu. Mimpiku semalam.

"Siap-siap gih. Kita cari makan. Kamu ada kuliah pagi kan?"

Aku mengangguk.

Usai mengantarku kuliah, Ayah kembali pulang. Mimpi soal Mas Akbil masih membayang. Sampai aku ditegur berkali-kali oleh teman-temanku karena melamun.

Sepulang dari kampus, aku membuka hp. Menelusuri arti mimpiku. Walaupun banyak yang bilang mimpi hanya sekadar bunga tidur, tapi beberapa mimpi mempunyai arti. Barangkali begitu juga dengan mimpiku.

Jika kamu bermimpi diberi cincin, itu artinya kamu akan segera disatukan dengan orang yang kamu sayang.

Itulah hasil pencarianku.

Aku menghela napas. Bagaimana bisa bersatu, dia saja sudah punya calon istri.

"Sudahlah Nai, itu hanya bunga tidur. Kamu bilang akan menyerahkan semua kepada Allah bukan? Maka lakukan! Jangan jadi orang munafik dengan ingkar janji," gumamku.

Aku menarik napas dalam-dalam, lalu berucap dalam hati,'Oke,Bismillah.'

Wonders || ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang