Fifteen :Learn Sincerely

11 0 0
                                    

Dua minggu telah berlalu, hari ini saatnya aku meninggalkan kotaku. Mendatangi kota orang untuk memperjuangkan cita-cita.

Semua barang telah terkemas rapi, bahkan telah masuk bagasi. Aku pun telah memantapkan diri, bahwasannya aku akan berusaha keras, agar tidak hanya sekadar menjadi mahasiswa tapi mampu membawa pulang segudang prestas plus ilmu yang bermanfaat.

"Bu Naira pamit. Ibu sehat-sehat ya. Doain Naira biar dipermudah." ucapku sambil memeluk Ibu yang memilih untuk di rumah saja. Sebenarnya tidak memilih, tapi karena Ayah yang meminta.

"Ibu pasti doain Nai. Baik-baik di sana ya, jangan asal bergaul, kalau ada apa-apa kabarin, kalau sakit langsung minum obat, ya?" Ucap Ibu sambil melepas pelukan. Lalu aku memberi hormat.

"Buruan Mba Nai!" Seru Zulfi yang sudah di dalam mobil. Aku segera masuk dan duduk di samping Zulfi.

Saat mobil mulai melaju, pandanganku tertuju ke luar jendela dengan mata yang mulai basah. Dari pantulan jendela, aku melihat Zulfi tengah menoleh ke arahku.

"Kenapa Zul?" tanyaku tanpa menoleh. Dia menggeleng.

'Kita dalam satu kota pun tak pernah bertemu, bagaimana jika kita beda kota, bahkan beda provinsi? Akankah masih ada kesempatan untuk bisa berjumpa?' Air mataku meluncur dengan mulus.

"Nai."

"Iya Yah?" Cepat-cepat aku menghapus air mata lalu menoleh ke arah Ayah.

"Kamu di sana fokus sama kuliahmu dulu ya. Inget, di sana ada tekanan drop out, jangan main-main!"

Aku menganggguk, lantas kembali memandang ke luar jendela. Menarik napas dalam-dalam, mengembuskan perlahan, berharap rasa sesak di dada sedikit berkurang. Tapi tidak, sebab yang membuatku sesak adalah rindu. Bagaimana bisa rindu berkurang dengan helaan napas,sementara obatnya adalah bertemu?

"Kenapa Nai?" Tanya Ayah setelah mobil kami hening beberapa menit.

Aku menggeleng lemah sambil tetap memandang ke luar jendela.

"Ayah perhatikan kamu sering menghela napas."

"Memang kenapa?"

"Nai...Nai... Ayah sudah kenyang makan asam garam kehidupan, Ayah paham betul apa artinya jika seseorang sering menghela napas. Karena Ayah sering melakukannya. Ayah menghela napas ketika Ayah sulit menguraikan yang Ayah rasakan. Ketika Ayah sudah berhasil menguraikannya, ternyata rasa itu tak punya solusi, kecuali melekat pada diri seseorang. Rindu misalnya. Terkadang kita tidak menyadari bahwa kita merindukan seseorang,ketika rindu itu sudah tak terbendung lagi, barulah kita sadar. Rindu itu akan tetap ada sampai kita bertemu dengan orang yang membuat kita rindu. Kamu kangen seseorang?"

Kali ini aku menoleh ke arah Ayah,tersenyum tipis. Lantas kembali menoleh ke luar jendela, sedikit mendongakkan wajah untuk mengintip langit. Mendung.

"Hem...Siapa memang yang membuat sulung Ayah rindu? Calon menantu Ayahkah?"

"Ah Ayah, apaan sih. Orang Nai kangen sama temen-temen Nai."

'Semoga saja memang akan menjadi menantumu.'

"Iyakah? Kangen sama temen beda sama kangen  sama laki-laki loh Nai." Ayah tertawa kecil.

"Suka-suka Ayah deh." Aku mencoba tersenyum, walau sangat tipis.

Aku membuka hp, memainkan aplikasi instagram. Membuka roomchat dengan Mas Akbil. Rasanya ingin sekali bertanya,'Kenapa DM-ku ngga kamu balas, sementara Afna kamu balas?' Tapi apalah daya. Kemudian aku beralih ke beranda. Tiba-tiba muncul story Mas Akbil.

Deg!

Sekuat hati aku berusaha untuk tidak menangis. Menahan genangan air mata yang siap tumpah. Tapi aku tidak bisa, air mataku mengalir perlahan bersamaan dengan hujan yang mulai mengguyur bumi. Ku palingkan wajahku agar Ayah tak tahu.

Dalam insta story Mas Akbil nampak foto dirinya yang mengenakan baju biru, berdampingan dengan seorang perempuan berjilbab pasmina merah muda.

1 year ago.

Demikian caption-nya.

'Apakah kita yang kamu maksud adalah kamu dan dia? Apakah puisi yang kamu buat juga untuk dia?' Aku semakin menangis, seakan tak ada siapapun di sini. Kemudian Ayah menghentikan mobil.

"Kenapa Nai?" Tanyanya sambil mengelus pundakku.

Aku menggeleng.

"Bagaimana tak apa-apa, sementara kamu nangis kaya gini."

Kemudian aku menoleh ke arah Ayah, menghapus air mataku dengan kedua tangan.

"Nai ngga papa." Jawabku sambil berusaha tersenyum.

"Ngga papa adalah jawaban yang mempunyai arti terbalik untuk seorang perempuan yang sebenarnya sedang ngga baik-baik aja. Ayah punya dua perempuan Nai,gimana Ayah ngga paham bahasa mereka?"

Ah aku lupa, Ayah sangat perhatian dengan sekitarnya. Tak mungkin jika Ayah tak mengenali mereka.Aku diam. Tak tahu harus menjawab apa. Belum saatnya pula Ayah tahu.

"Nai...." Panggil Ayah lembut. Aku masih menggeleng. Lalu Ayah kembali melajukan mobil.

"Ayah tetep yakin kalau kamu lagi ngga baik-baik aja. Tapi ngga papa kalau belum mau cerita."

"Mba Nai masih punya dua laki-laki di sini," ucap Zulfi sepelan mungkin,ini seperti bukan Zulfi yang biasanya. Dan kenapa dia bisa tiba-tiba mengatakan demikian? Padahal pencahayaan hpku sangat redup, memungkinkan jika Zulfi mengintip pun tidak akan melihat dengan jelas.

Aku kembali menghela napas panjang sambil mencoba tersenyum.Tersenyum dibalik luka, berhenti menangis ketika benar-benar ingin menangis, dan diam ketika ingin berteriak bukanlah hal yang mudah untuk aku lakukan. Orang selalu menganggapku kuat, tapi sebenarnya aku tak lebih dari sebatang kayu yang telah lapuk, rapuh.

'Mungkin sekarang saatnya aku untuk ikhlas. Jika memang pada akhirnya harus melepas sudah benar-benar ikhlas.'

Tujuh jam perjalanan tidak terasa, sekarang kami berada di sebuah restoran untuk makan sore. Lampu gantung ada di man- mana, tapi cahayanya yang kuning membuat tempat ini remang-remang. Tak heran pengunjung di sini berpasang-pasangan, sebab suasananya pas untuk berkencan. Selama di sini aku tak banyak bicara,tidak meladeni candaannya Zulfi,  hanya menjawab pertanyaan ringan dari Ayah.Sesekali aku mengedarkan pandangan ke sekitar.

'Andai yang ada di hadapanku sekarang adalah Mas Akbil.'Usai makan kami segera menuju kontrakan yang telah kami pesan sebelumnya,hanya ada dua kamar,dapur kecil, kamar mandi dan ruang utama.Ayah menurunkan semua barang-barangku, lantas membawanya masuk.

"Ke Alun-Alun yuk Mba." ucap Zulfi setelah meletakkan tas kecilku.

Aku menggeleng lemah.

"Ayo lah Nai... Kamu kenapa sih?" ucap Ayah.

"Nai cape." Jawabku singkat sambil membaringkan badan ke ranjang.

Ayah menyusulku, Zulfi juga ikut menyusul.

Sama seperti di restoran, aku tak banyak bicara. Usai Salat Isya aku memutuskan untuk tidur. Ingin sejenak membebaskan pikiran dari Mas Akbil.

Wonders || ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang