Thirty Four : Waiting For

7 0 0
                                    


Tanggal pernikahan telah ditentukan. Semua hal telah dipersiapkan, dan Mas Aray kembali membantuku. Tatapannya menjadi sangat sendu. Aku tahu hatinya sangat terluka, tapi dia sangat kuat. Masih mampu melukiskan garis lengkung di bibirnya, walau sangat tipis. Hari ini Mas Akbil libur, kami berniat untuk membagikan undangan ke teman-temanku,dengan ditemani Zulfi tentunya.

"Ke tempat siapa dulu ini Nai?" tanya Mas Akbil saat sudah di perjalanan.

"Afna," jawabku setelah berpikir sejenak.

Aku tak bisa membayangkan bagaimana reaksi teman-temanku saat menerima undangan dariku, terlebih aku mengantarnya bersama Mas Akbil. Siapa kira-kira yang lebih terkejut, teman SMA-ku atau teman kuliahku?

"Apa sebenarnya yang membuatmu bertahan mencintaiku?"

"Nanti aku ceritain setelah Mas Akbil mengucapkan qabul ." Aku menoleh,tersenyum.

"Mas ngga bisa mbayangin gimana tersiksanya kamu saat itu.Merindukan seseorang yang sudah saling kenal pun berat, bagaimana merindukan orang yang sama sekali belum mengenalmu, dan bahkan sangat sulit memiliki titik temu."

Aku menghela napas.

"Sebentar lagi Mas paham."

Tak lama kemudian kami sampai di depan rumah Afna.

Setelah mengucap salam,tidak sampai tiga puluh detik pintu sudah terbuka, muncul Afna dari balik pintu. Seperti yang aku duga, dia terkejut.

"Naira? Ka Akbil?"

Aku mengangguk sambil menyodorkan undangan pernikahan kami.

"Kalian mau nikah?!" Dia membulatkan matanya.

Aku memerlihatkan deretan gigi sambil mengangguk. Raut wajahnya benar-benar menampakkan rasa tidak percaya.

"Jangan lupa datang ya Na, kami pamit."

"Heh bentar. Gimana kalian bisa ketemu?"

"Allah yang memertemukan," jawab Mas Akbil.

"Assalamualaikum." Kami berbalik.

"Waalaikumsalam." Suara Afna nyaris tak terdengar saking lirihnya.

Rumah berikutnya yang kami tuju adalah rumah Rida. Tak sabar rasanya melihat ekspresi Rida.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam." Terdengar sahutan, tapi bukan suara Rida.

"Eh Naira yah?" Ibunya muncul dari balik pintu.

"Iya Tante. Rida ada?"

"Rida lagi pergi sama Rizky."

"Oh ya udah. Ini titip undangan ya Tan."

"Oh mau nikah?"

Aku tersenyum. Sayang sekali aku tidak bisa melihat ekspresi Rida. Tak apa. Sekarang kami menuju tempat Zahra.

"Naira? Ka Akbil?" Sebelas dua belas dengan ekspresi Afna. Aku menjawabnya dengan senyuman.

"Nih." Aku menyodorkan undangan pernikahan.

"Nikah?!" Sama seperti Afna, matanya terbelalak.

Aku hanya mengangguk.

"Gimana ceritanya?"

"Bagaimanapun ceritanya yang penting kamu datang. Kami permisi ya. Assalamualaikum." Kami meninggalkan Zahra yang masih dirundung kebingungan.

"Temen-temenmu ko pada kaya gitu sih reaksinya? Emang apa yang salah dengan kamu nikah sama Mas?"

"Ngga ada yang salah. Hanya saja ini terlalu mengejutkan."

Kami menuju rumah temanku yang terakhir,Nana. Teman-teman SMA-ku tak banyak yang masih menetap di sini. Kebanyakan dari mereka pindah rumah ke kota mereka kuliah. Selain itu, aku juga tidak mengundang banyak teman SMA.

Lain dengan dua temanku sebelumnya. Untuk sekian detik Nana terbengong setelah melihatku dan Mas Akbil di depan pintu.

"Mau nganter undangan." Aku menyadarkannya dengan menyodorkan undangan pernikahan.

Dia menerima undanganku tanpa sepatah kata pun. Dengan wajah yang tak luput dari kebingungan.

"Tiga hari lagi kami nikah," ucap Mas Akbil.

"Nikah?" Walaupun nadanya santai, tapi raut wajahnya penuh tanda tanya.

Kami mengangguk.

"Minta doanya ya. Jangan lupa datang. Kami permisi. "

Aku sangat senang melihat ekspresi teman-temanku saat menerima undanganku. Ekspresi itulah yang lebih dari tiga tahun lalu aku bayangkan. Membayangkan aku menyebar undangan dengan Mas Akbil. Hari ini, khayalan itu menjadi kenyataan.

Kami tak punya banyak waktu untuk mengantar undangan ke teman-teman kuliahku. Karenanya kami mengirimnya lewat pos. Mungkin hari ini undangan itu sudah sampai di tangan mereka.

Begitu Mas Akbil mengantarku pulang, Mas Akbil langsung pergi karena banyak yang harus dia urus. Tak sabar rasanya membantunya bersiap untuk berangkat kerja. Walaupun hanya sekadar merapikan kerah bajunya atau menyisir rambutnya. Tak sabar menjadi makmum salatnya, mengaminkan setiap doanya. Sebentar lagi, tiga hari lagi.

Wonders || ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang