Five : Just Read

12 0 0
                                    

" Tadi kamu nyatat IG-nya ngga?" Tanya Rida sesampainya di kelas.

"Nyatat dong."

"Terus yang di sini gimana?"

"Siapa?" tanyaku pura-pura tak tahu.

Dia hanya melirik Rizky.

"Kasihan tahu."

"Lah kasihan kenapa?"

"Masa diduain."

"Siapa yang nduain, suka aja engga."

"Halah..."

"Kamu kali yah yang suka, dari SD bareng, kuliah pun sama Ibumu disuruh bareng."

"Ya kan aku ngga mau."

"Tapi kan Ibumu merestui."

"Kata siapa merestui?"

"Kataku barusan."

Dia hanya menatapku tajam, lalu aku balas dengan cengiran.

Rizky memang teman dekatnya sejak kecil. Jarak rumah mereka jauh, tapi ketika Rizky tidak berangkat sekolah pasti Ibunya mengantar suratnya ke tempat Rida. Padahal sebelum ke rumah Rida pasti melewati sekolah, mengapa tidak dititipkan ke satpam? Bahkan ketika dia mau pinjam catatan, yang dia pinjam adalah milik Rida, padahal aku yang duduk tepat di belakangnya. Sifatnya tak bisa diduga, sekarang baik sama aku, nanti bisa jadi tidak peduli.

"Hayo, mikirin Rizky yah?" Dia mendorong mejaku.

Aku hanya mengangkat sebelah alis.

"Weh,gais. Ada tugas dari Pak Ihwan, suruh ngerjain LKS, nanti ditumpuk!" Teriak Naila di depan kelas.

Pak Ihwan ini adalah guru sejarah. Pertemuan kami dengan beliau hannya satu kali dalam satu minggu. Tapi, pada semester pertama satu bulan tak pernah masuk. Tak dikasih tugas, apalagi ulangan.

"Bagi saya nilai itu ngga penting. Makanya, nanti saya tidak akan kasih tugas ataupun ulangan. Ibaratnya besok raporan, nanti malam sudah jadi nilainya." Demikian kata Pak Ihwan pada pertemuan pertama.

"Eh, kira-kira aku follow Mas Akbil ngga yah?" Tanyaku pada Rida yang sudah mulai mengerjakan tugas.

"Oh, jadi dari tadi kamu mikirin Ka Akbil? Yang itu mau taruh mana?"

"Taruh hatimu aja."

"Enak aja. Tinggal follow aja, paling juga ngga di-follback."

"Emang kalo di-follback kamu mau ngasih apa?"

"Maunya apa?"

"Mendoan di tempat Bu Sum, es teh sama bakso Oma."

"He, nglunjak yah."

"Kan kamu yang nawarin. Berani ngga?"

"Ya ngga tau."

Kita memang sering ribut untuk hal-hal yang sepele. Hingga pernah pada saat pelajaran kimia, kami disuruh maju.

"Heh Mba, sini kamu maju! Kerjain ini! Yang lainnya ndengerin kamu ngobrol sendiri!" Beliau menunjuk reaksi senyawa yang belum setara.

Aku berjalan perlahan dengan kepala yang mulai memanas. Ku lihat reaksinya, kemudian pelan-pelan kutulis angka di depan suatu senyawa agar setara. Tapi sebenarnya aku pun tidak tahu apa yang aku tulis, sehingga aku hapus kembali.

"Kenapa dihapus? Udah bener itu!"

Panas dari kepala menjalar ke seluruh tubuh. Kulihat lagi, ku cermati, dan kuperbaiki.

Wonders || ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang