Selesai sarapan aku menyingkirkan ego untuk minta maaf sama Zulfi, tapi dia tidak mau memaafkanku. Bahkan aku berusaha sampai siang, tidak juga membuahkan hasil.
"Ya udah, kalo ngga mau maafin! Mba juga nyesel minta adik sama Ayah Ibu!" Ucapku penuh emosi lalu pergi ke kamar.
"Kalo Zulfi bisa milih, Zulfi juga ngga mau punya Kakak kaya Mba Nai! Ngga pernah mau ngalah! Ngga pernah sayang sama Zulfi!" Langkah kakiku terhenti, untuk sedikit meredam marah aku mengepalkan kedua tanganku lalu kembali melangkah. Sesampainya di kamar, tangisku pecah. Ada banyak perasaan tapi hanya bisa diluapkan dengan air mata.
Tidak, sebenarnya aku sama sekali tidak menyesal meminta adik kepada Ayah dan Ibu. Sebenarnya, Zulfi adalah salah satu anugerah dan keajaiban yang Allah berikan.
Saat aku berusia empat tahun, Ibu pernah hamil, tapi keguguran. Tiga tahun kemudian Ibu hamil lagi, dan kembali keguguran. Aku tidak tahu pasti penyebab Ibu keguguran, dan aku pun tidak mau bertanya sebab Ayah ataupun Ibu tidak pernah menyinggung hal itu.
Suatu hari, saat aku mulai berusia sembilan tahun -saat penerimaan rapor- teman-temanku menggendong adiknya. Beberapa di antara mereka mempunyai adik laki-laki. Aku melihat bahwasannya seorang perempuan yang mempunyai adik laki-laki sangat menyenangkan.
FYI, yang mengambil raporku selalu Ayah. Dalam perjalanan menuju rumah, aku bilang kepada Ayahku,
"Yah, Nai pengin punya adik laki-laki." Saat itu respon Ayah hanya tersenyum sambil mengacak rambutku. Aku tidak paham dengan respon Ayah tersebut.
Sesampainya di rumah, saat aku tengah ganti baju, sayup-sayup mendengar percakapan Ayah dan Ibu.
"Sayang, Naira minta adik."
"Adek ngga mau hamil lagi,Mas."
"Keguguran kamu itu beralasan Dek, dan bukan karena suatu penyakit. Kita coba lagi ya."
"Adek belum siap."
Mendengar percakapan singkat itu, aku menangis. Rasanya sedih sekali, seakan-akan aku benar-benar akan menjadi anak tunggal. Aku sering iri mendengar cerita teman-temanku tentang adiknya, sementara aku?
Beberapa hari kemudian Adik ayah datang bersama istri dan anaknya yang baru dua tahun; Om Adit, Tante Ica dan Adam. Senang bukan main menyambut mereka, khususnya Adam. Sepulangnya mereka, aku kembali mendengar percakapan Ayah dan Ibu.
"Lihat kan Dek, Naira kepingin adik. Lebih tepatnya kepingin adik laki-laki." Beberapa saat setelah perkataan Ayah, Ibu masih belum menjawab.
"Adek ngga mau hamil lagi?" tanya Ayah kemudian.
"Adek takut kalau nanti keguguran lagi,Mas."
"Kan Mas jagain Dek. Ada Naira juga yang bisa diandelin buat jagain ibunya. Coba sekali lagi, ya Sayang." Ayah adalah orang yang sangat sabar, hal itu tercermin dari nada bicaranya.
Beberapa bulan setelah itu, Ayah mengatakan sesuatu yang sampai saat ini aku rasa itu adalah suatu amanah, menjaga Ibu dan Adikku.
"Nai, Ibu hamil. Insyaallah laki-laki. Naira jagain Ibu sama Dedek bayinya ya."
"Ye!! Naira mau punya adik!" Lalu aku memeluk Ayah, Ibu dan mencium perut Ibu.
"Ko Ayah tahu, kalau Dedeknya nanti laki-laki?"
"Kan Ayah perawat Nai, Ayah tahu ilmunya, ya Ayah praktikkan lah."
Saat itu aku tidak paham, tapi setelah aku kelas dua belas, saat pelajaran biologi pada bab yang membahas kromosom, aku menemukan jawabannya. Kromosom seorang perempuan adalah xx, sementara kromosom laki-laki adalah xy.
Laki-laki mendapat kromosom x dari Ibunya, sehingga hal inilah yang menyebabkan anak laki-laki kencerung mirip Ibu. Lalu, jika seorang Ibu buta warna atau memiliki kelainan, maka anak laki-lakinya pasti kelainan. Kromosom x untuk sampai pada tuba falopi (tempat terjadinya pembuahan) membutuhkan waktu sekitar satu minggu, sementara kromosom y membutuhkan waktu kurang lebih tiga hari. Jika ternyata sampai pada waktu tersebut seorang perempuan belum memasuki masa subur, sperma akan mati.Dengan kata lain, kromosom y umurnya lebih pendek. Untuk itu, agar anak yang dihasilkan adalah laki-laki,harus 'melakukan' tepat pada masa subur. Jika sebelum masa subur, kemungkinanan hamil adalah perempuan. CMIIW
Pada saat Ibu merasakan akan melahirkan, Ayah tengah bekerja. Saat aku mencoba menghubungi Ayah, tidak kunjung diangkat. Lalu aku menelepon bagian administrasi meminta untuk menyiapkan ruangan dan bertanya keberadaan Ayah. Katanya, Ayah tengah di ruang operasi, menangani pasien gawat darurat.
Alhasil aku berlari-lari meminta tolong ke tetangga untuk mengantar Ibu ke rumah sakit.Kalian tahu? Ibu mengalami pendarahan yang luar biasa banyak. Kata bidan yang menangani, Ibu butuh darah, golongan A. Namun, rumah sakit kehabisan stok.Sebenarnya aku juga A, tapi belum diizinkan untuk melakukan donor darah.
Aku yang baru berusia sepuluh tahun harus keliling PMI dan rumah sakit, naik ojek untuk mendapatkan darah. Di samping itu aku sangat iba, karena Ibu harus sendirian bertaruh nyawa, Kakek-Nenek masih belum sampai di kota kami.
Sudah satu klinik dan satu PMI yang aku datangi, tapi keduanya kehabisan stok juga. Saat hendak memasuki klinik yang ketiga, aku terserempet motor membuat kakiku sakit untuk berjalan, tangan dan pipiku juga lecet.
Harusnya aku menangis dengan rasa sakit dan perih luar biasa, terlebih pada saat itu tiba-tiba hujan, perih dan sakit bertambah sekian kali lipat. Tapi aku tidak peduli, mengingat ada Ibu yang jauh lebih kesakitan.
Aku memaksakan diri untuk berlari-lari. Sesampainya di PMI aku menjadi pusat perhatian.
"Mas, saya butuh darah golongan A." Ucapku pada perawat yang melintas.
"Ya Allah, kamu kenapa Dek?" Justru dia lebih fokus dengan keadaanku.
"Aku ngga papa Mas, saya butuh segera. Ada tidak?" Aku tidak bisa santai lagi dalam berbicara.
"Ada,ada." Lalu perawat itu menyuruh temannya.
"Sini Dek, itu diobatin dulu lukanya."
"Ngga perlu Mas, saya ngga papa."
"Ke sini naik apa?"
"Naik ojek."
"Naira?" Om Hadi, teman Ayah mendekat. Perawat tadi datang dengan sebuah kotak, lalu menyerahkannya kepadaku.
"Ayo, Om antar." Tanpa banyak kata aku mengikut di belakang Om Hadi yang berlari. Jujur, kakiku terasa mau lepas, sakit tak terkira.
Sesampainya di rumah sakit ternyata Zulfi sudah lahir, dan Ibu tengah dalam masa kritis. Tidak lama kemudian aku melihat Ayah yang masih memakai baju scrub berlari mendekat, lalu memelukku. Dalam dekapan Ayah, aku pingsan. Setelah aku sadar, pipi dan tanganku yang lecet sudah diplester, dan kakiku sudah diperban. Kata Ayah, Om Hadi yang melakukannya.
Itulah kejadian delapan tahun yang lalu, di mana sekarang aku delapan belas tahun dan Zulfi delapan tahun,kelas empat SD.
Apakah, setelah Zulfi tahu kisah itu, dia akan tetap bersih-kukuh tidak ingin mempunyai kakak sepertiku?

KAMU SEDANG MEMBACA
Wonders || END
Fiksi RemajaZunaira, anak dari seorang perawat, tapi berusaha menjauhi jurusan berbau kesehatan. Suatu kegiatan membuatnya jatuh hati pada sosok perawat.Keterpikatan yang muncul sejak jumpa pertama,dalam perkenalan yang sepihak. Lantas terpisahkan oleh ruang...