06. Promise

2.6K 252 21
                                    

» happy reading «


"Dewa, aku—" Kanza diam lagi, tak tahu harus berkata apa saat melihat mata Dewa yang memerah menatapnya begitu tajam.

"Sikap kamu yang mana lagi yang belum aku tahu, Za? Sikap buruk macam apa lagi yang mau kamu tunjukin?" Dewa tertawa sumbang, kedua tangannya masih mengepal sempurna.

Dewa marah, sungguh. Pulang-pulang tidak ada orang, Kanza pergi pun tidak meminta izin darinya. Belum lagi mendengar bagaimana Kanza menceritakan tentang dirinya seakan-akan ia telah menjadi suami tak berguna untuk perempuan itu. Dan, astaga! Kepala Dewa rasanya mau pecah memikirkan semua itu!

"Aku salah, aku minta maaf," ucap Kanza pada akhirnya.

Dewa memejamkan matanya, kemudian mencengkram kuat seprai sebelum meloloskan pukulan ke kasur yang tengah ia duduki. Tidak ada suara pukulan yang akan membuat Kanza takut, karena Dewa tidak setega itu.

"K-kamu mau ke mana? Ka-kamu mau n-ninggalin aku?" tanya Kanza yang langsung menangis saat melihat Dewa keluar dari kamar mereka.

Dewa tak menjawab, lelaki itu tidak ada niatan untuk meninggalkan Kanza atau apa pun yang sekiranya merugikan perempuan itu. Yang Dewa lakukan hanyalah ingin mengambil minum agar pusing di kepalanya mereda.

"Aku minta maaf, tapi kamu juga salah," cicit Kanza mengikuti setiap langkah suaminya. Ujung kemeja Dewa yang sudah keluar dari celana, ia tarik-tarik sebagai pegangan.

Dewa masih diam. Dia perlu minum sebelum membalas ucapan Kanza karena pikirannya benar-benar kacau saat ini.

"Kamu mungkin nggak sadar, setelah kamu kerja lagi, kamu nggak lagi perhatian sama aku," ucap Kanza lirih.

Dewa tersedak air yang tengah dia minum. Lelaki itu cepat-cepat membalikkan badannya hingga berhadapan langsung dengan Kanza. Melihat Kanza menundukkan kepalanya sambil sesekali mengusap air mata menggunakan lengannya, Dewa tersadar jika ini bukan hanya kesalahan Kanza.

Dia juga bersalah.

"Kamu cuekin aku, kamu bahkan nggak mau lirik aku kalau aku ajak ngomong. Sesibuk itu kamu sampe aku nggak ngerasa disayang lagi," lanjut Kanza dengan tangis semakin menyayat hati.

Dewa sedikit membungkukkan badan, kemudian mengangkat dagu Kanza. "Bilang semuanya yang kamu rasa sikapku nyakitin kamu, Za. Bilang semuanya sama aku," pintanya lagi.

"A-aku cuma ngerasa kamu egois. Kamu lebih mentingin pekerjaan dibanding aku," ucap Kanza jujur.

"Astaga." Dewa memukul jidatnya sendiri mendengar penuturan Kanza. Dewa ingin menyangkal, memberi penjelasan yang memungkinkan untuk mengubah sudut pandang Kanza tentang dirinya dan pekerjaannya. Tapi Dewa tahu semua itu akan sia-sia.

Perempuan itu rumit dengan segala pemikiran buruk yang ada dalam otaknya. Apalagi saat tengah hamil begini. Jadi percuma Dewa menyangkal, apalagi bersembunyi di balik kata "Aku kerja juga demi kamu".

"Maaf," bisik Dewa kemudian memeluk perempuan itu.

Kanza menangis lagi. Hatinya lega sudah menyuarakan apa yang ia pendam beberapa jam lalu.

"Lain kali bilang langsung sama aku, Za. Jangan bicarakan masalah rumah tangga kita sama orang lain, apalagi bicarain keburukan suamimu di depan lelaki lain," ucap Dewa lirih. Sebagai seorang lelaki, harga dirinya sudah tercoreng saat mendengar Kanza mengadu pada teman-temannya tadi.

"Kamu boleh marah, kamu boleh pukul atau maki-maki aku sepuasmu kalau kamu ngerasa ada yang salah dengan sikapku. Aku masih seperti yang kamu kenal, Za. Aku nggak akan pernah main tangan sama perempuan," imbuhnya menasihati Kanza.

"Maaf," ucap Kanza mengaku salah.

"Dan satu lagi, kamu bukan lajang lagi. Aku berhak tahu kamu mau pergi ke mana pun yang kamu mau. Jadi, salah besar kalau kamu pergi tanpa seizinku, Za," ucap Dewa membuat Kanza tersadar jika salahnya banyak.

"Iya, maaf," cicit Kanza seperti suara tikus terjepit. "Kenapa salahku banyak banget? Kan harusnya salah kamu aja yang banyak," gumamnya kesal.

Dewa tertawa pelan, kemudian mengurai pelukan mereka saat tersadar akan sesuatu. "Sampai kamu kamu mau nyiksa anakku dengan baju ini?" sindirnya membuat Kanza lagi-lagi bersedih hati akan banyaknya kesalahan yang telah ia lakukan.

"Ini sempit. Anakku butuh ruang yang luas buat berenang di lautan ketuban," oceh Dewa kemudian menarik resleting di punggung Kanza dan meloloskan dress sempit itu dari badan istrinya.

Sekarang tubuh Kanza hanya terbalut bra dan hot pants setelah dress hitamnya terlepas. Dewa berdecak kagum sekaligus kesal karena dirinya terlalu cepat mengambil tindakan.

"Dokter bilang kandungan kamu kuat, kan?" tanya Dewa dengan tangan yang sibuk mengusap-usap perut besar perempuan itu.

"Kenapa?" tanya Kanza bingung.

Dewa tersenyum tipis, kemudian menggeleng pelan. "Janji ini terakhir kali kamu kayak gini, ya?" pintanya dengan suara rendah.

Kanza mengangguk pelan. "Aku janji. Tapi kamu juga harus janji buat nggak lagi cuekin aku," ucapnya dengan bibir mengerucut lucu.

Dewa berjongkok, menyetarakan tingginya dengan perut perempuan itu. "Aku janji," ucapnya sembari mendaratkan kecupan bertubi-tubi di perut besar sang istri.

***

Pagi ini, Kanza dan Dewa berencana mendatangi makam Kenzo setelah keduanya sama-sama didatangi lelaki itu lewat mimpi. Tak ada tangisan sedih seperti biasanya, keduanya justru datang dengan senyuman yang terpatri di bibir indah masing-masing.

"Hai, Papa." Kanza menyapa lebih dulu, menirukan suara khas anak kecil seakan anaknya yang menyapa.

Dewa menaruh kursi kecil yang sengaja ia bawa agar istrinya tidak perlu jongkok terlalu lama. Setelah Kanza duduk dengan nyaman, ia mulai memberi sapaan untuk Kenzo dengan cara menepuk-nepuk nisan lelaki itu.

"Nyenyak banget tidurnya sampe nggak mau bangun lagi," gurau Dewa dengan sejuta luka yang kembali basah ketika bayang-bayang kenangan mereka terlintas dalam benaknya.

Kanza mengusap nisan Kenzo begitu lembut. "Kamu nggak cemburu lagi sama Dewa, kan? Sekarang dia udah jadi suami aku atas permintaan kamu sendiri. Aku dan baby twins bahagia," ucap Kanza dengan senyum kecilnya.

Dewa beralih memandang Kanza yang juga menatapnya. "Mau bikin perjanjian?" tawarnya membuat Kanza menatapnya penuh tanya. "Gimana kalau kita janji, kita akan datang ke sini saat kita lagi bahagia. Jangan pas kita lagi sedih," imbuhnya.

Kanza mengangguk setuju. "Bener. Ken nggak perlu tahu luka yang kita simpan, dia cukup tahu bahagianya aja," ucap Kanza makin tersenyum di balik duka yang bersemayam di hatinya.

Dewa tersenyum lagi. Kali ini dia beralih mengusap perut Kanza dengan lembut. "Ken, di sini ada jagoan kecil. Anak kita. Mereka tumbuh dengan sehat," ujar Dewa menceritakan buah hatinya pada mendiang Kenzo.

"Lo nggak usah khawatir. Kanza sama anak-anak akan gue jaga sampai napas gue berhenti," lanjut Dewa tanpa ragu.




» thanks for reading «

jangan lupa masukin perpus, baca, vote dan tinggalin komen eaa💋

KANZADEWA [New Version]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang