Beralih

494 75 7
                                    

"Apakah hyung ingin makanan yang lain?" Soobin yang menyodorkan semangkuk mie pada Jimin berujar pelan saat pemuda itu menatap makanannya tanpa selera.

"Tidak perlu, kalian makan saja." Jimin menarik sumpitnya dan mulai menyuapkan mie kedalam mulutnya.

"Aku cukup pandai memasak, apakah hyung ingin beberapa daging?" Kini giliran Yeonjun membuka suara, ia mendekatkan tubuhnya ke arah Jimin. Berharap pemuda itu lebih menikmati makanannya.

"Tidak Yoenjun-ah, bukankah kita harus berhemat?" Ucapan Jimin memang ada benarnya, sejak Jimin memutuskan meninggalkan keluarga Kim, Soobin dan Yeonjun bersikeras akan membiayai hidup Jimin. Sedikit menggelikan untuk Jimin yang bahkan memiliki tabungan yang cukup banyak.

"Aish..... aku juga kerja paruh waktu, uang itu cukup untuk biaya sekolah ketiga tikus itu." Yeonjun meletakkan sumpitnya, berusaha menghibur sang kakak yang nampak murung, namun bukan itu maksud Jimin. Ketika ia pergi nanti, ia tak ingin kehidupan kelima pemuda itu akan dalam masalah.

"Gajiku akan lebih besar nanti saat menjadi sniper." Jimin menarik senyum berusaha mencairkan suasana.

"Kudengar hyung  akan bergabung dengan Do Hwan hyung, apa itu benar?" Soobin berucap setelah menelan sisa makanan di mulutnya. Jimin mengangguk singkat sebagai jawaban.

"Jadi hyung akan meninggalkan negara ini?" Taehyun yang sudah menyelesaikan makan siangnya menatap Jimin, ia begitu tertarik dengan hal ini.

"Mungkin saja, tapi aku tak yakin akan hal itu. Do Hwan hyung mengatakan jika aku tak perlu pergi dari negara ini dan membantu NIS sebagai anggota tidak tetap." Jelas Jimin yang dapat dipahami para pemuda yang lebih muda.

"Eum... kau sudah mengambil senapan itu?" Tatapan Jimin beralih pada Yoenjun yang tengah berebut potongan terakhir pangsit dengan Soobin.

"Ah... ne, aku mengambilnya kemarin hyung, jadi apa yang harus kulakukan dengan itu?" Yeonjun menyisihkan mangkuknya da menrelakan pangsit itu jatuh ke tangan Soobin.

"Kau masih mahir menggunakan senjata api bukan?" Pertanyaan Jimin dibalas anggukan oleh Yeonjun.

***

"Mau ku pesankan yang lain?" Jimin, pemuda yang tengah menyesap americanonya, menatap sejenak Bogum yang duduk di hadapannya.

"TIdak perlu, ini sudah cukup untukku." Bogum mengangguk dan melanjutkan memakan potongan kuenya.

Keduanya disibukkan dengan makanan masing-masing, hingga Bogum memilih untuk kembali membuka suara, terasa aneh jika hanya ada kesunyian di antara keduanya.

"Apakah kau sudah mengatakan semuanya pada Soobin?" Jimin mendongakkan kepalanya, pertanyaan itu membuatnya mengatupkan mulutnya.

"Soobin dan yang lain tak perlu tau tentang ini, aku hanya mengatakan jika akan bergabung dengan kelompok Do Hwan hyung."

Bogum menunduk, ia seakan merasa tak enak telah meminta adiknya itu untuk bekerja bersama Do Hwan. Namun tak ada pilihan lain agar pria itu mau melindungi adiknya.

"Beberapa hal terasa lebih baik saat tidak perlu dikatakan." Gumam Jimin pelan sebelum bangkit dari kursinya.

"Aku akan menemui Dokter Hwang, setidaknya walaupun ia membenciku, aku masih pasiennya."

Jimin melangkah meninggalkan kafe, awan gelap mulai memenuhi langit dan sepertinya hujan akan kembali turun untuk hari ini. Ada banyak hal yang tak pernah Jimin ungkapkan, entah itu pada member 007, pada sang kakak, begitu juga pada Soobin dan yang lain.

Beberapa panggilan seakan meneror ponsel pemuda itu, Daniel sudah menghubunginya sejak pagi tadi dan itu terus berlanjut hingga saat ini. Jimin sungguh tak ingin mendatangi iblis itu, namun tak ada pilihan lain untuknya.

Sebuah taxi menjadi transportasi Jimin untuk mendatangai markas para ular, bukannya Jimin ingin, ia hanya tak ingin masalah semakin runyam.

Kepulan asam rokok yang menyesakkan menyambut kedatangan Jimin di sebuah rumah reot yang kemungkinan akan segera runtuh, Jimin sendiri sebenarnya tak peduli akan hal itu ia hanya ingin menemui pria tak tau diri yang terus saja mengisi panggilan masuk di ponselnya.

Kursi kayu di sudut ruangan menjadi perhatian Jimin, ia tak ingin terlalu dekat dengan manusia gila itu. Mungkin saja ia akan tetap di tempatnya sampai Daniel membentaknya dengan suara lantang.

"Kau pikir bisa melarikan diri? Kau pikir aku tidak tau mengenai tket pesawat itu Park?!" Jimin bangkit dari posisinya dan mendorong bahu Daniel yang terus mendekat kearahnya.

"Sebenarnya apa yang kau mau, aku tidak akan kemanapun. Aku hanya ingin memastikan kakakku menainggalkan negara ini, tak ada yang lain. Pembatalan penerbangan bukanlah hal yang sulit." Tatapa sinis Jimin berikan sembari berdecih kasar di akhir kalimatnya, ia sungguh muak harus berhadapan dengan manusia rendahan seperti Daniel.

"Aku sangat penasaran, sebenarnya apa yang ada di kepalamu ini. Aku ingin melubanginya, namun itu nanti saja karena kau masih menjadi amunisiku untuk saat ini." Daniel beranjak, meraih kaleng bir dan meneguk isinya hingga habis tak bersisa. Tangnnya beralih menarik keluar sebuah senapan dari dalam peti kayu dan melemparkannya ke arah Jimin.

"Gunakan itu untuk membunuh salah satu member 007, peluru didalamya disertai racun yang akan membunuh seketika. Aku mengatakan ini karena mungkin saja kau mencoba memelesetkan peluru itu." Pandangan Jimin melihat peluru di dalam senapan, hanya ada satu butir peluru disana. Apakah Daniel sedang bermain-main denganya.

"Apakah bicaramu sudah selesai, aku harus pergi kerumah sakit sekarang." Tak ada jawaban dari Daniel, hanya kibasan tangan yang mengisyaratkan agar Jimin segera pergi dari hadapannnya.

Hujan benar-benar turun, Jimin memilih untuk mengunjungi rumah tempat Taehyung di sekap dulu untuk menyimpan senapannya. Bukan hal yang bagus jika ia membawa senapan itu menaiki bus.

Udara kian dingin, dan itu membuat kondisi tangannya memburuk. Jimin bahkan harus lebih tersiksa saat musim dingin tiba karena rasa nyeri. Namun akhir-akhir ini sebenarnya tangannya mulai membaik. Ia tak lagi mengalami tremor yang terlalu parah, bahkan tangan kanannya mulai dapat digunakan mengangkat barang-barang berat.

Rumah sakit, adalah tempat yang tetap sama bagi Jimin, ia bisa leluasa disini tak begitu banyak berpikir seperti saat ia bersama para saudara dan rekannya.

Minhyun sebenarnya tak ada jadwal hari ini, namun ketika Jimin menghubunginya dokter muda itu memilih untu merelakan jadwal liburannya. Ia juga ingin bertanya banyak hal pada pemuda Park itu. Mungki satu edisi buku tak akan cukup untuk alasan Jimin kali ini.

"Tanganmu cukup baik, kau sungguh pergi untuk operasi bukan? Jika memang benar, itu akan sangat bagus." Jimin mengangguk sembarii menarik senyum, ia sendiri tak yakin akan hal itu sebenarnya. Namun tak ada alasan bagi Jimin untuk mengatakan semuanya pada Minhyun.

"Hyung, apakah kau tak marah padaku?"

Minhyun yang tengah sibuk meneliti hasil pemeriksaan Jimin menurunkan kacamatanya, menatap Jimin sejenak.

"Marah? Tentu saja, bahkan aku ingin mencekikmu sekarang." Tatapan datar Minhyun membuat Jimin menarik senyum.

"Syukurlah jika begitu, aku permisi hyung." Jimin meninggalkan ruang praktek, kini tujuannya adalah menemui Yeonjun. Pemuda itu tengah berlatih menembak di hutan kecil pinggir kota, Setidaknya Jimin ingin memastikan jika Yeonjun dapat melakukannya dengan baik.













Bersambung.....................


StrangerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang