Kehilangan

1.8K 249 48
                                    

"Yoongi hyung sudah sadar? Aku akan segera kesana." Jimin memasukkan ponselnya di saku jaket. Ia belum mengganti pakaiannya karena sejak semalam pemuda itu belum pulang.

"Hyung kau akan kerumah sakit?" Yeonjun yang sejak semalam menemani pemuda Park itu menatap pemuda yang lebih tua dengan tatapan sayu.

Rasa bersalah tentu saja masih menyelimutinya dan tidak berkurang sedikit pun.

"Kau pergilah ke apartement, minta Taehyun, Beoumgyu dan Kai untuk pergi kesana juga. Hyung akan menghubungimu lagi setelah kembali dari rumah sakit." Jimin bangkit dari posisi duduknya, memberikan senyum sebelum beranjak.

Jimin banyak menyesali semuanya, tidak bukan karena ia menyerahkan posisi snipernya pada Yeonjun. Namun, andai saja ia tak pernah kembali mungkin hal ini tak akan terjadi.

Setelah membayar tagihan taxi, Jimin mulai melangkahkan kaki memasuki bangunan kokoh dihadapannya.

Baru saja langkah yang ia ambil mencapai lobi, suara yang megitu familiar menghentikan langkahnya.

"Jim, bisa pergi ke ruanganku sebentar." Pria dengan setelan jas putihnya menatap Jimin intens. Sementara pemuda Park itu hanya mengangguk dan mengikuti langkah Minhyun.

Ruangan yang menjadi saksi bisu perbincangan kedua pemuda di dadalamnya. Tak begitu tengang, namun cukup membuat tak nyaman.

"Wae hyung?" Jimin menatap Minhyun yang menyodorkan berkas kehadapannya.

"Baca dan pertimbangkan."

Pemuda Park itu mulai membuka setiap lembaran dokumen itu. Keningnya mengernyit kala tiap kata semakin diluar nalarnya.

"Apakah appa yang memintanya?" Pertanyaan Jimin membuat Minhyun menatap kearahnya. Sebelum mengangguk mantap.

"Ne, samchon memintaku untuk melakukan terapi pada tanganmu. Jadi mari pikirkan lagi, kau mengikuti terapi bersamaku secara rutin atau pergi ke Belanda dan melakukan pengobatan disana."

Tak ada niat dalam hati Jimin untuk melakukan hal itu. Namun mengelak juga tak ada gunanya.

"Aku akan memikirkannya lagi hyung, kalau begitu aku permisi." Jimin bangkit seraya memberikan kembali dokumen itu pada Minhyun.

Pemuda itu bertarung dengan pikirannya sendiri hingga tanpa di sadari dirinya telah tiba di salah satu ruang rawat.

"Jimin-ah kau sudah tiba?" Seokjin yang tengah membantu Yoongi memakan sarapannya menyapa Jimin yang baru saja tiba. Semua menatap Jimin yang bahkan belum mengganti pakaiannya.

"Bagaimana kondisimu hyung?"

"Hei bocah, lalu bagaimana denganmu? Aku lebih baik, cemaskan dirimu." Yoongi tersenyum tipis, pemuda itu sangat gemas dengan tingkah Jimin yang bahkan tak mengangkat kepalanya.

"Kalian masih belum berbaikan?" Namjoon yang tadinya sibuk dengan panggilan telephon beralih menatap Taehyung dan Jimin bergantian.

Taehyung membuang muka dan Jimin yang nampak lelah.

"Syukurlah jika hyung lebih baik, aku akan pulang dan membersihkan diri." Pemuda Park itu segera melesat keluar tak peduli tatapan dari para saudaranya.

***
"Apakah hyung ingin kue?"

"Tidak Kai, makanlah dengan yang lain." Jimin yang baru saja selesai membersihkan tubuhnya tengah mengotak-atik ponselnya.

Baru saja pemuda itu akan membaringkan tubuhnya, sebuah pesan dari Namjoon menghiasi layar ponselnya.

'Kau tak ada di rumah, apakah kau pergi ke suatu tempat?'

Jimin menimang-nimang, haruskah ia mambalas pesan Namjoon?

'Ne, aku pergi ke apartement.' Pemuda itu mematikan ponselnya setelah membalas pesan. Membaringkan tubuhnya dan mulai memejamkan mata.

Hingga deringan ponsel membuat pemuda itu membuka matanya. Namjoon menghubunginya, menatap sejenak sebelum menerima panggilan itu.

"Halo hyung!"

'Kau baik-baik saja?'

"Eum...... aku baik, apakah ada sesuatu?"

'Ne, begitulah. Tuan Jeon meninggal di penjara, Ji hyung baru saja menghubungi Jungkook, saat ini ia pergi ke rumah duka untuk mengurus pemakaman. Aku juga sudah menghubungi appa.'

Mendengar hal itu Jimin seketika terduduk,
"Lalu bagaimana dengan yang lain?"

'Kami akan segera kesana, kau akan datang bukan?'

"Ne, aku akan bersiap dan segera pergi kesana."

Setelah panggilan terputus tanpa perlu menunggu Jimin segera bangkit dan mengganti pakaiannya.

Sementara itu dirumah duka Jungkook tengah bersimpuh di depan foto dan abu mendiang sang ayah. Tatapannya kosong bibir yang terkatup rapat dan jangan lupakan wajahnya yang nampak pucat.

Para membe 007 dan lima pemuda yang datang bersama Jimin hanya menatap Jungkook dari kejauhan. Mereka sadar jika pemuda itu membutuhkan waktu sendiri saat ini.

Yoongi yang tak dapat hadir hanya sempat bicara di telephon dengan Jungkook. Itupun dengan pembicaraan yang begitu singkat.

Para pelayat yang mayoritas polisi mulai ramai berdatangan. Jungkook yang sedari tadi terus berdiri dan memberi penghormatan nampak mulai lelah.

"Jungkook-ah, sebaiknya kau istirahat dulu." Seokjin datang sembari menyodorkan air mineral pada pemuda itu.

Jungkook begitu menyedihkan, pemuda itu tak banyak bicara dan sama sekali tak menangis sejak kabar kematian sang ayah.

"Hyung duluan saja, aku akan menyusul setelah tak ada orang yang datang." Seokjin hanya mengangguk dan beranjak meninggalkan pemuda itu.

Sebelum ia melangkah jauh, Seokjin berpapasan dengan pria paruh baya yang tiba-tiba memeluk Jungkook. Cara bicaranya nampak begitu akrab, seakan ia telah mengenal Jungkook lama. Tak mau ambil pusing Seokjin kembali melanjutkan langkah dan akan menanyakan hal ini pada Jungkook nanti.

Sekitar 30 menit lamanya para member telah menyelesaikan makan mereka Tuan Kim juga baru saja tiba. Jungkook yang tengah berjalan mendekat sembari memijit tengkuknya mendapat perhatian di antara para pemuda itu.

"Kemarilah!" Hoseok menggeser kursi dan memberikan tempat untuk Jungkook duduk.

Pemuda Jeon itu hanya menurut dan mendudukkan tubuhnya disana.

Jungkook memejamkan matanya erat hingga suara jimin membuatnya kembali membuka mata. Dihadapannya terdapat koyo yang Jimin sodorkan, Jungkook yang tak mengerti hanya menatap benda itu.

"Ambillah, leher dan lututmu pasti terasa nyeri. Seharian kau membungkuk dan memberi penghormatan, saat eomma dan appaku tiada lututku benar-benar sakit karena melakukan hal itu seharian."

Tangan Jungkook terulur menerima itu dengan senyuman, dan segera menempelkan salah satu koyo itu di tengkuknya.

"Hiks......"

Semua atensi terarah pada Jungkook, ini isakan pertamanya yang sedari tadi mati-matian pemuda itu tahan.

"Tak apa, menangislah." Hoseok merengkuh tubuh Jungkook agar bersandar di bahunya. Isakan semakin terdengar dari pemuda Jeon itu.

"Hyung, asal kalian tau saja, koyo ini sangat panas..... hiks....hiks......"

"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
StrangerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang