"Rion. Rion? Saya sedang bicara dengan kamu."
Tepat di depan meja kepala sekolah, di sofa yang menempel pada dinding kantor, duduk seorang siswa dengan kepala menunduk dan punggung membungkuk. Telapak kirinya menggosok-gosok jemari kanannya yang lecet.
Dua wanita dewasa bersamanya di ruangan itu. Satu guru Bimbingan Penyuluhan, dan satu lagi Kepala Sekolah. Keduanya tampak murka.
"Rion," panggil sang guru BP. Kali ini mulai terdengar tidak sabar. "Saya bilang, saya lagi bicara sama kamu."
Siswa itu akhirnya mengangkat wajah dengan enggan. Tulang pipi kirinya kebiruan, ujung bibirnya sobek, dan bola matanya terlihat memerah. Tapi semua itu tidak seberapa, dibanding apa yang diterima lawannya.
"Saya tidak ingin menyudutkan kamu," lanjut sang guru. "Kehadiran saya di sini untuk membantu kamu. Semua manusia berhak melampiaskan emosi mereka, ya. Tapi bukan dengan cara seperti ini. Orang yang kamu hajar sampai masuk rumah sakit, luka parah, dan hanya keajaiban yang bisa membuat kamu dimaafkan."
Kemudian guru itu mulai membuka lembaran catatannya. Sepasang mata tajam di balik kacamata tebal itu membaca sebaris kalimat dengan seksama, lalu melirik Rion lagi dengan penuh penghakiman.
"Kamu punya masa kecil yang lumayan suram—"
"Bu Titin," Bu Samantha—kepala sekolah mereka—langsung menggeleng tegas di kursinya. "Kita sudah sepakat untuk tidak mengungkit hal satu ini. Sejak awal saya tidak pernah mengizinkan Bu Tit untuk baca berkas Rion."
"Apa semua ini ada hubungannya?" Bu Titin acuh tak acuh. "Sifat kamu yang temperamen dan tahu-tahu meledak ini, apakah ada hubungannya dengan kematian mendadak orang-orang yang kamu cintai—"
"Bu Titin!"
Sang guru BP masih abai. "Padahal kamu murid yang brilian, nilai-nilai kamu bagus, atlit sekolah pula. Meski kamu punya masalah serius dengan sosialisasi—"
"Cukup," Bu Samantha mendorong kursinya dan berdiri. "Bu Titin, sudah cukup sesi interogasinya, saya menghargai kehadiran Ibu di sini, tapi saya minta Ibu keluar. Sekarang juga."
"Ingat, Bu Sam, murid yang main kekerasan di lingkungan sekolah harus ditindak dengan keras juga. Jangan selalu lembek sama mereka."
"Dengan segala hormat, Bu Titin, sayalah kepala sekolahnya, bukan Ibu."
Bu Titin mengangkat wajah penuh kejengkelan. Terserah. Kemudian menyeret langkah arogannya meninggalkan kantor.
"Luar biasa," gumam Bu Samantha. Kini dia kembali memandangi Rion. "Rion, terus terang, aksi diam kamu ini nggak membantu banyak. Saya mau kamu membuka mulut dan beri alasan, satu saja, untuk menjelaskan aksi kekerasan tadi."
Rion menggosok tulang jarinya yang bengkak, kemudian kembali menunduk memandangi kotoran lumpur di sepatu sekolahnya.
"Rion," panggil sang Kepala Sekolah lagi. "Beri saya satu jawaban, sebelum saya harus menarik kesimpulan sendiri."
Rion tersenyum masam. "Saya tidak menyesal."
"Ri—"
"Ibu mau jawaban. Itu sudah jawaban."
"Tolong jangan membuat keadaan jadi tambah sulit. Ini tahun terakhir kamu. Kalau sampai kamu dikeluarkan, maka semua aplikasi beasiswa kamu juga ikut hangus."
Pintu kantor kepala sekolah terbanting, dan seorang siswi muncul tergesa-gesa.
Meski Bu Samantha langsung berseru mengusirnya, siswi itu tetap berdiri di ambang pintu, memandang ngeri pada wajah Rion yang penuh lebam.
Rion membalas tatapannya dengan tajam. Telapak tangannya mengepal tanpa sadar, dan rahangnya mengeras, menahan seruan-seruan yang sudah bergemuruh lantang di dada.
Satu alasan, kata Bu Samantha.
Mereka sedang menatapnya saat ini. Alasan yang ditanya Bu Samantha.
Dada Rion seketika dipenuhi rasa sesak yang memuakkan. Jika Bu Titin menganggapnya temperamen atau punya anger issues yang serius, mungkin guru gadungan itu ada benarnya. Ia memang sakit. Benar-benar sakit. Maka sebelum semuanya bertambah kacau dan ia semakin muak terhadap dirinya sendiri, ia harus berhenti.
Ia harus berhenti mencintai manusia satu ini.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
I Don't Love You Anymore
RomanceSatu saat nanti, aku akan berhenti mencintai kamu. [CERITA INI DILARANG DIPLAGIAT]