- 6 -

17K 3.6K 994
                                    

Jika ia memandang Dani sebagai adiknya semata, maka tidak seharusnya ia memiliki sifat cemburu yang berlebihan setiap kali pria mendekatinya.

Jika ia menganggapnya tak lebih dari saudara, maka tidak seharusnya kehadiran Dani semata, mampu mengguncangkan seluruh jiwa dan pikiran.

Jika semua ini hanya persaudaraan, tidak seharusnya saat Dani tersenyum, atau menyentuhnya, atau memeluknya, bahkan sekadar berada di dekatnya, mampu membuat debaran jantungnya melesat seperti ini.

Rion tidak pernah menginginkan hal ini terjadi. Tapi Gordon secara tidak langsung telah menyadarkannya, bahwa rasa sayang yang ia miliki untuk Dani tak lagi sama seperti saat mereka kecil.

Kepolosan yang dulu ia miliki kini telah bertumbuh menjadi sebentuk perasaan lain.

"Saya nggak mau seperti ini," Rion bernapas berat seraya menundukkan kepala, jari jemari dari kedua tangannya bertautan di tengah kaki. Punggungnya membungkuk hingga kepalanya menatap ke bawah. Sekujur tubuhnya gemetar, walau ruangan tempatnya duduk jauh dari hawa dingin. "Saya enggak seharusnya seperti ini. Ini salah, bukan?"

Suster Kepala memandangnya dengan tatapan renta. Sepasang tangan kurus itu terjulur ke kepala Rion, lalu mengusapnya. "Satu hal yang saya tahu, Rion, bahwa manusia tidak sepenuhnya bersalah terhadap perasaan yang timbul dalam dirinya. Ada beberapa rasa, salah satunya cinta. Kita memang tidak bisa memilih dengan siapa kita akan jatuh cinta."

Jatuh cinta.

Kepala Rion kian menunduk.

Rasa sayangnya pada Dani telah bertumbuh menjadi cinta.

Bagaimana ia bisa mempertanggungjawabkan semua kekacauan ini pada Ayah dan Ibu?

"Kalian tumbuh besar bersama. Dan dia bukan adik sedarah kamu. Bukan sebuah dosa, jika kamu memiliki perasaan lebih terhadapnya. Tapi saya mengerti ketakutan kamu. Karena kamu menganggap semua ini salah."

Sejak kecil Rion terbiasa diabaikan. Ia tidak pernah punya teman, kedua orang tuanya pun kerap meninggalkannya. Dalam kesendirian itu, Dani muncul dalam hidupnya. Dani orang pertama yang menyusulnya ke mini market saat Papa meninggal. Ibu tidak pernah memintanya, Dani melakukannya atas inisiatif sendiri, bahkan sampai tertimpa kecelakaan akibat ulahnya.

Dani selalu menemaninya, menjadi sumber tawa dan semangatnya, jadi orang pertama serta orang terakhir yang berada di sisinya setiap ia butuh. Dani menempati semua ruang kosong dalam hatinya, keberadaannya terlalu luas, terlalu besar, hingga Rion tidak lagi menginginkan orang lain menyelinap masuk ke dalam sana. Seluruh hatinya cukup untuk Dani seorang.

"Dani anak yang baik," seru Suster Kepala, dan Rion menangkap nada senyuman di suaranya. "Semua orang di sini menyukainya."

Rion ikut tersenyum. Diangkatnya wajah itu untuk memandangi wajah renta Suster Kepala yang sangat amat disayanginya. Wajah itu balik tersenyum menenangkan.

Dia benar, semua orang di panti menyukai Dani. Sama seperti yang dirasakannya, keberadaan Dani juga selalu menyenangkan bagi mereka.

Gadis itu selalu tahu cara membuat anak-anak panti tersenyum, saat dia bernyanyi dengan nada sumbang, atau berjoget dengan goyangan aneh, saat dia membuatkan kerajinan tas dan mainan dari barang bekas, atau saat membacakan buku dongeng untuk mereka. Kasih sayangnya selalu tulus, tidak dibuat-buat. Senyuman dan tatapannya mampu membuat siapa pun merasa dicintai. Di mana pun Dani berada, kehangatan selalu mengikutinya.

Anak-anak rindu dipeluknya. Suster Johana suka didandaninya. Suster Natalie senang ditemaninya memasak. Bahkan Pastor Paulus bersemangat memimpin firman dengan Dani mendengarnya.

I Don't Love You AnymoreTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang