Sebuah tamparan saja rasanya tidak cukup untuk memperbaiki semuanya.
Wajah Rion terlempar ke samping, saat telapak tangan Om Aswin menempelengnya tanpa ampun. Tante Indah memekik kaget, serta merta menahan tangan sang suami agar tamparan kedua tidak terjadi.
"Gila kamu," sergah wanita itu. "Tenangin diri dulu!"
Di sepanjang lorong rumah sakit, Rion menundukkan kepala di hadapan kedua orang tua Dani. Napasnya tersendat-sendat akibat sakit yang menjalar di pipinya. Ia tidak tahu lagi apa yang membuatnya lebih malu; tatapan berang Om Aswin yang menghunjamnya seakan ia kriminal, tamparan keras tadi, atau pembelaan Tante Indah yang masih saja melindunginya meski anak semata wayangnya sedang dirawat di kamar UGD.
Om Aswin menatap geram. "Kamu tahu siapa saya, Rion?"
Polisi. Rion menggigit bibir. Tapi bukan itu yang ia takuti saat ini. Penjara anak-anak, atau yang lebih akrab disebut lembaga pembinaan, hanya akan jadi salah satu rumah barunya nanti kalau bukan panti asuhan. Ia sudah pernah hidup di rumah yang menyerupai itu, dan ia baik-baik saja selama delapan tahun.
Saat ini ia lebih takut pada hal lain. Pada kemungkinan-kemungkinan terburuk yang sedang terjadi di balik pintu tertutup bertuliskan UGD itu.
Masih jelas di ingatannya saat ia melihat beberapa orang membopong tubuh tupai kecil itu ke mobil ambulan, sementara Rion masih terduduk shock di trotoar seberang, tidak melakukan apa-apa. Pikirannya baru pulih setelah jalan raya itu kembali normal, saat kendaraan mulai berlalu lalang lagi, seakan tidak ada anak kecil yang baru saja tertabrak di sana.
Setelah itu Rion mengumpulkan keberaniannya untuk menempuh perjalanan 2 kilometer lebih, selama hampir satu jam, demi menemukan rumah sakit terdekat tempat Dani dibawa.
Kedua orang tua Dani sudah berada di depan UGD saat ia sampai. Dan hadiah pertama yang diterima Rion begitu mereka melihatnya, adalah tamparan Om Aswin.
"Menurut laporan pengemudi mobil yang membawa Dani ke sini, ada anak kecil yang tadinya bermain sama Dani, lalu kalian berdua menyeberang jalan." Om Aswin menatapnya garang.
Rion tidak membantah. Dengan peluh memenuhi sekujur tubuhnya, ia terus memandangi tulisan besar UGD yang menyala terang itu.
"Aswin," bisik Tante Indah. "Berhentilah menyalahkan Rion. Aku juga salah, waktu Dani bilang dia mau pergi mencari Rion, aku seharusnya nggak mengizinkan dia."
Rion mengangkat wajah kaget. Lalu cepat-cepat menunduk lagi, tak kuasa menahan malu serta geram. Ia ingin meninju dirinya sendiri saat ini.
Kalau sampai terjadi sesuatu yang buruk pada Dani, bagaimana ia bisa memaafkan dirinya?
"Kenapa sih, kamu belain anak ini terus?!" Teriak Om Aswin sambil menuding Rion.
"Win, dari semua hal yang baru dia alami, bukankah—"
"Hanya karena ayahnya bunuh diri, bukan berarti dia boleh mencelakakan anak kita."
"Nggak ada yang mencelakakan siapa pun. Aku yakin Rion nggak membuat Dani tertabrak. Semua ini murni kecelakaan."
"Kecelakaan yang disebabkan oleh kelalaian dia menjaga Dani."
"Win, Dani sendiri yang inisiatif menyusul dia. Ngerti, nggak? Sejak kapan Rion bertanggungjawab menjaga Dani? Dan aku yakin Dani baik-baik aja," kemudian Tante Indah berjongkok dan menyentuh kedua bahunya. "Rion, hari ini kamu menginap di rumah Tante dulu ya? Jangan pulang ke rumah kamu."
Rion melepaskan sentuhan Tante Indah dan melangkah mundur.
"Nggak usah bersikap baik sama dia, Indah," seru Om Aswin. "Rumah kita bukan yayasan sosial."
KAMU SEDANG MEMBACA
I Don't Love You Anymore
RomanceSatu saat nanti, aku akan berhenti mencintai kamu. [CERITA INI DILARANG DIPLAGIAT]