2

16.3K 3.6K 1.2K
                                    

Selama tujuh tahun menetap di Kanada, tiga kali Rion pernah pulang ke negaranya. Ia tidak menetap lama di sana, hanya dua minggu dalam setiap kepulangan. Namun, ia selalu menyempatkan diri menemui Suster Kepala.

Di pertemuan terakhir mereka kala itu, Rion sadar kesehatan Suster Kepala tidak lagi sebagus dulu. Matanya mulai sulit melihat dan kedua kakinya hampir-hampir tidak bisa berjalan. Saat Rion berjalan mendekat dan berbisik menyapanya, wajah tua itu tersenyum begitu lebar. Seakan segala penyakitnya sudah diangkat.

"Saya tidak bisa melihat kamu dengan jelas." Tangan Suster Kepala meraba wajah Rion. "Tapi ingatan saya masih sangat jelas. Anakku Rion."

Rion menawarkan bantuan, apa saja, untuk memulihkan kesehatannya. Entah membawanya ke dokter atau membelinya vitamin, tapi sang Suster menolak.

"Hidup ini seperti lomba lari." Kedua mata rabun itu menerawang hampa, namun kekuatan kalimatnya seolah menikam langsung ke jantung Rion. "Manusia yang terus berlari, suatu saat juga butuh istirahat. Saya yakin tidak ada yang lebih mengerti selain kamu, bahwa 'berlari' itu ... melelahkan."

***

Koper kecil yang diisi dengan baju seadanya itu berhenti diseret hingga pintu kapel. Rion melangkah masuk, mendekati satu per satu suster yang dikenalnya untuk memberi mereka pelukan. Suster Natalie menangis sangat kencang ketika tiba gilirannya. Sesaat kemudian suster-suster lain datang untuk menenangkannya, mereka mengatakan Suster Kepala telah meminta mereka berjanji untuk tidak berduka dengan cara menangis.

Di samping mimbar, sebuah peti kayu sederhana diletakkan. Potongan ayat 2 Timotius 4 : 7 terukir di badan peti: Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman.

Suster Kepala meninggal dunia genap di usianya yang kedelapan puluh. Jantungnya melemah dan beliau pergi dalam tidur yang tenang.

Rion meletakkan tangannya di atas peti yang telah tertutup. Air matanya tidak menetes meski ia ingin. Suster Kepala telah berbisik padanya, di pertemuan terakhir mereka empat tahun lalu, bahwa jika nanti pelarian beliau telah tiba di garis akhir, maka tidak ada yang perlu ditangisi.

"Kita harus bersukacita, anakku, karena saya tidak lagi lelah." Ujarnya dengan senyum bahagia.

"Kita akan bertemu lagi." Sesuai janji, Rion mengukir senyuman di depan peti. "Ibu."

Menjelang sore, pelayat semakin berdatangan memenuhi kapel. Rion tidak mengenali kebanyakan dari mereka. Menurut Suster Johana, beberapa dari mereka adalah donatur, dan beberapa lagi adalah anak panti yang telah keluar entah karena diadopsi atau karena sudah mencapai usia mandiri—mereka menamakan anak-anak itu sebagai Lulusan.

Salah satu dari Lulusan itu adalah Ami, yang telah meninggalkan panti di usia delapan belas tahun. Bersama kedua teman yang sama-sama berasal dari panti, Ami kini mengelola sebuah kedai kopi kecil yang dibiayai Suster Kepala.

Selama hidupnya, Suster Kepala selalu sederhana dan cenderung irit. Semua uang donatur kalau tidak dipakai untuk pembangunan panti, pastinya ditabung beliau untuk dipakai oleh anak-anak calon Lulusan nanti. Agar kelak begitu keluar dari panti, anak-anak itu tidak akan terluntang-lantung, karena beliau sudah memiliki uang tabungan yang bisa diberikan kepada mereka untuk memulai usaha sendiri.

"Bule, dateng juga lo?" Ami menghampirinya dengan seuntai tawa. Perawakannya tidak jauh berbeda dengan empat tahun lalu saat Rion terakhir kali datang. Kulit kecokelatan, rambut keriting yang kini dipotong seleher, tubuh mungil dan binar mata ceria. "Kata Suster Kepala nggak boleh sedih. Pokoknya kita harus melepaskan kepergian dia dengan senyum dan sukacita. Maka di sinilah kita, berpura-pura happy padahal kita mau nangis paling kenceng."

I Don't Love You AnymoreTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang