- 3 -

17.9K 3.9K 750
                                    

Aroma harum memenuhi dapur kecil ini, saat Rion dengan luwes menuangkan masakannya ke atas piring. Capcay yang lezat pun mendarat manis di meja makan.

"Kapan, kamu mau belajar makan sayur tanpa harus dimasakin dulu sama Rion? Hmm?" Ibu menggeleng takjub pada Dani. "Gimana kalau besok Rion harus dikirim ke perang Vietnam? Atau ke Afghanistan untuk misi kemanusiaan?"

"Indah, Perang Vietnam sudah berakhir puluhan tahun lalu."

Ibu mendelik kesal ke tempat duduk Ayah. "Terima kasih karena telah memahami bahwa semua percakapan ini adalah lelucon."

Dani menyendoki sayurannya sambil menahan tawa.   Rion ikut tersenyum di sebelahnya, untuk alasan yang sedikit berbeda. Rasa puas dan bangga menghinggapinya begitu melihat Dani lebih memilih capcay masakannya ketimbang ikan kembung pesmol di piring lain.

"Tadi Gordon telepon ke rumah."

Senyuman Rion langsung menghilang.

"Dia telepon waktu kamu lagi mandi," lanjut Ayah. "Terus-terusan, walau Ayah sudah bilang kamu nggak akan bisa angkat telepon. Tidak adakah yang mengajari dia sopan santun—"

Di saat bersamaan pesawat telepon di ruang tamu berdering. Suasana meja makan langsung senyap seketika.

Ibu menatap Dani. "Mungkin Gordon. Kamu mau angkat?"

"Ini waktunya makan malam, Indah," potong Ayah. "Dani, lanjutkan makan kamu."

Rion melirik Dani yang kembali melanjutkan makan malamnya dengan patuh. Dering telepon akhirnya berhenti dan Ibu mendesah kesal di mejanya.

"Mereka itu anak muda, Win, normal-normal aja mereka mau berkomunikasi. Mungkin Gordon nggak perlu telepon ke rumah terus menerus sampai mengganggu ketenangan kamu, seandainya kamu mau mengizinkan Dani punya ponsel."

Ayah menggeleng tegas. "Kita nggak akan membahas satu itu."

"Aswin!"

"Tidak ada ponsel sampai dia lulus sekolah. Titik."

"Dan bagaimana kalau Dani perlu berkomunikasi untuk tugas-tugas sekolah? Dia harus ngobrol sama temannya pakai apa? Burung merpati?!"

"Dia punya laptop, Indah. Dia bukan hidup di zaman batu."

"Justru karena dia bukan hidup di zaman batu, sudah saatnya kamu sadar kalau mengekang anak itu bukan tindakan tepat. Yang ada justru kamu membuat malu anak kita."

"Membuat malu bagaimana?"

"Waktu Gordon datang kemarin malam—"

Rion menoleh kaget. Kenapa ia tidak tahu Gordon datang kemarin malam?

"—kamu bilang Dani nggak ada di rumah, padahal jelas-jelas Dani lagi nongkrong di balik jendela lambai-lambai tangan ke Gordon—"

Rion melirik ke tempat Dani. Benarkah?

"—itu namanya apa kalau bukan malu-maluin, hah?" Ibu masih menyerang Ayah. "Berhentilah bersikap over protektif sama anak perempuan kamu. Dia sudah remaja, wajar kalau ada anak laki-laki yang mendekati dia, suka sama dia, dan kalau Dani juga suka atau mau pacaran—"

Rion membanting sendoknya tanpa sadar. Semua orang sukses dibuatnya kaget.

"Maaf. Hummm ... keselek." Kemudian meraih gelas minuman dan meneguk air putihnya dengan pura-pura tenang. "Sudah hilang. Silakan dilanjutkan."

"Dani," Ayah ikut meletakkan sendok garpunya untuk menatap Dani. "Kamu tahu alasan kenapa Ayah bersikap lebih protektif ke kamu ketimbang ke kakak kamu, karena kamu perempuan. Ayah tidak bilang perempuan lebih lemah dari laki-laki. Tidak. Bukan begitu. Ayah cuma tidak bisa menutup mata dari semua yang Ayah lihat di luar sana. Satuan Ayah baru saja menangkap pengedar narkoba yang selama ini jadi daftar buron. Kamu tahu berapa usianya? 18 tahun. Dan 90% pelanggannya adalah anak-anak sekolah."

I Don't Love You AnymoreTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang