Bus berhenti di halte pertama, dan keduanya melompat turun dengan penuh semangat. Saat itu pukul tujuh pagi, di mana mereka seharusnya sudah berada di sekolah.
"Kalau Ayah tau terus ngamuk, aku bakal bilang aku yang maksa kamu," seru Dani sambil membetulkan letak tali ranselnya. "Kita harus ganti baju." Kemudian menarik lengan Rion memasuki mini market pertama yang mereka temukan.
Memakai seragam di jam sekolah seperti ini memang bukan ide baik. Rion berjalan patuh di belakang Dani, menonton saat gadis itu bertanya dengan suara manis pada kasir di mana letak kamar kecil, lalu mengekori Dani lagi menuju lantai dua mini market tersebut.
Sesaat setelah mereka masuk ke kamar kecil—yang hanya ada satu—Dani mengunci pintu dan meletakkan tas sekolahnya ke bak cuci tangan. Gadis itu mengucir rambutnya dengan karet rambut, lalu membuka ritsleting tasnya untuk mengeluarkan sweater oversize merah kesayangannya.
Hari ini Dani memang memiliki jadwal eskul voli dan gadis itu memang selalu membawa baju ganti untuk—
Hhhh!
Rion membatu di tempat. Di depan matanya, Dani tengah membuka satu per satu kancing seragam sekolahnya dengan gerakan tenang. Sebelum Rion sadar apa yang tengah melanda dirinya saat ini, dan sebelum semua kancing seragam itu benar-benar lepas, ia buru-buru berbalik memunggungi Dani. Menelan ludah. Deburan jantungnya melompat hancur-hancuran.
Bagaikan berenang di kolam 100 meter dengan gaya batu.
"Ganti baju?" Rion berdeham.
"Nggak. Lagi gali sumur."
Dani tertawa di belakangnya, dengan irama gesekan kain saat seragamnya terlucuti dari tubuh.
"Kita harus cepat, Rion. Sebelum ada yang datang."
"Mmmm. Ya." Rion membuka tas dan mulai mengeluarkan pakaian gantinya juga.
Kenapa ia harus bertingkah norak begini? Nyaris setengah dari seluruh masa kecilnya, ia habiskan bersama Dani, main bareng, bercanda bareng, bergulat seperti dua anak laki-laki bareng.
Anggap saja ini cuma rutinitas ganti-piyama-sebelum-minum-susu-dan-tidur. Ya. Benar.
Rion menanggalkan seragamnya dan segera mengenakan kaos bersih. Ia membungkuk sebentar untuk meletakkan tas, tapi mengernyit melihat lantai keramik di bawahnya yang basah dan kotor. Mau tidak mau ia berbalik untuk meletakkan tasnya ke bak cuci tangan.
Saat itulah ia melihat Dani tengah membungkuk melepaskan rok sekolah.
Baik.
Rion menghirup napas panjang dan bersiap membuang muka. Lagi.
Tapi sesuatu menahan matanya. Pemandangan garis samar sepanjang 10 cm lebih yang membentang di paha kiri Dani—bekas jahitan luka yang diperoleh Dani saat kecelakaan delapan tahun silam, yang secara tidak langsung disebabkan oleh dirinya.
Ini bukan pertama kalinya Rion melihat bekas luka di paha itu. Hampir setiap hari Rion melihatnya di rumah karena Dani kerap mengenakan celana pendek. Dan setiap kali melihatnya, perasaan yang timbul selalu sama.
Ia ingin memeluk Dani dan mengucapkan maaf.
Dan respon Dani setiap kali memergokinya tengah 'mengintip', juga selalu sama. Seperti saat ini.
"Awas aja ya, kalau sampe aku berat jodoh gara-gara ini." Dani tertawa sambil menarik celana jogger abunya ke batas pinggang.
Rion akan berpura-pura cuek. "Harry Styles udah pasti nolak kamu, sih." Ia akan menghajar siapa pun yang berani menolak Dani-nya.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Don't Love You Anymore
RomanceSatu saat nanti, aku akan berhenti mencintai kamu. [CERITA INI DILARANG DIPLAGIAT]