9

18.2K 3.5K 938
                                    

"Aku nggak mau ke mobil. Mungkin aku sudah capek selalu ikutin maunya Ayah. Dani begini, Dani begitu, Dani kuliah ini, Dani kerja itu, Dani pacaran sama Adam, Dani nikah sama Adam, mungkin Ayah lupa aku punya suara sendiri?"

Rion menghela napas. Sedari awal, ia selalu tahu Dani memiliki hubungan yang canggung dengan Ayah. Sejak kecil Dani takut dan segan pada Ayah. Lalu beranjak dewasa, rasa takut dan segan itu menjelma menjadi kepatuhan yang sedikit terlalu dipaksakan. Ayah memang tidak pernah membentak Dani, apalagi memukul, tapi sikap kaku dan protektif Ayah membentangkan jarak di antara mereka.

"Dani, kalau memang kamu sedewasa itu untuk mengambil keputusan sendiri," Ayah mencoba sabar. "Maka seharusnya kamu pergi sekarang juga. Empat jam lagi kamu sudah harus di airport bersama Ibu, dan entah seberapa lama perjalanan nanti di tengah situasi seperti ini, jadi lebih baik kamu pergi."

Rion menoleh ke tempat Dani dan menyerukan hal yang sama lewat tatapannya. Ia memberi senyuman, menandakan semua akan baik-baik saja dan setelah semua ini usai, ia akan menyusul.

"Setidaknya lakukan ini untuk Ibu. Ibu menunggu kamu." Sahut Ayah lagi.

Tatapan Dani memelas. Tubuhnya merosot. Dengan satu tarikan napas berat, Dani akhirnya bersedia mengikuti kedua bawahan Ayah meninggalkan gerbang kos.

Sekilas Dani menoleh ke belakang, dan Rion tersenyum padanya dengan anggukan kecil.

Senyuman itu memudar setelah pemandangan Dani menghilang ke ujung gang. Ayah masih berdiri di hadapan Rion, perlahan-lahan melepaskan lengan yang menahan dadanya sejak tadi. Meski tatapan Ayah masih menikam tajam.

"Waktu pertama kali tahu kamu sebatang kara, yang saya pikirkan sederhana: anak yang malang, dia seorang diri, dia barangkali punya keluarga yang rumit tapi tidak ada salahnya memberi dia kesempatan. Lalu saya membuka pintu rumah saya untuk kamu. Saya beri kamu nama belakang, kehidupan yang nyaman, keluarga yang hangat, dan saya tidak minta apa-apa sebagai gantinya, selain kesadaran kamu untuk tidak merusak semua yang sudah ada."

Rion membatu diam. Tidak ada sedikit pun keinginannya untuk membantah laki-laki yang sudah memberi terlalu banyak untuk dirinya itu.

"Lalu saat kamu kehilangan kendali, dan menghajar Irvin sampai anak itu hampir mati dan cacat, saya mulai berpikir, mungkin keputusan saya salah. Tanpa sadar saya sudah mengundang anak singa masuk ke dalam rumah, dan anak singa itu bakal bertumbuh semakin dewasa, semakin sulit diatur, semakin brutal. Seperti ayahnya."

Hati Rion tercabik. Sepenuh hati ia ingin menyangkal setiap ucapan itu, tapi separuh lagi sadar bahwa bertahun-tahun ia juga menimbun ketakutan yang sama.

"Ini bukan tentang saya yang meminta pamrih setelah mengadopsi kamu. Saya seorang ayah yang melindungi putrinya. Apa saya salah?"

Rion membisu.

"Kenapa? Mau bilang bahwa kamu pasti berbeda dari ayah kamu? Kalau gitu kenapa kamu rutin menemui psikolog di Kanada? Kamu pikir saya tidak tahu? Kamu sudah bilang ke Dani tentang hal satu itu? Bahwa kejiwaan kamu bermasalah?"

"Kejiwaan saya tidak bermasalah."

Ada begitu banyak alasan bagi Rion untuk menyembunyikan hal satu itu dari Dani, bahwa ia kerap menjalankan terapi kejiwaan di Halifax, bahwa terkadang ia sulit mengendalikan traumanya setiap kali mengingat kedua orang tua kandungnya. Ia tidak bisa menghapus bayangan Papa yang menghabisi Mama, dan bayangan bahwa kelak dirinya akan melakukan hal yang sama—menyakiti Dani.

Rion tidak berani menceritakan pada Dani, bahwa rasa takutnya itu melukainya setiap hari dan ia butuh pertolongan. Bahwa mimpi-mimpi buruk kerap hadir dalam tidurnya, menayangkan potongan gambar saat ia menghajar Irvin hingga nyaris mati, lalu tahu-tahu wajah Irvin berubah menjadi Dani. Ia menghajar Dani dan berteriak bahwa tidak ada yang boleh memiliki Dani jika bukan dirinya.

I Don't Love You AnymoreTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang